Sefiksi Sudut Malam

Ramai, hilir-mudik berlalu begitu saja.
Tanpa bintang, hanya asap dari kendaraan.

Kamu bilang di sini ramai,
Aku mati ditelan kesepian.
Terbeban oleh khayalan,
Berpelampung pada kenyataan.

Tetap tenggelam.

Kau mau aku ceritakan bagaimana aku?
Aku yang selalu pantas untuk dirimu.
Namun, kata tidak selalu sesudah selalu.

Aku yang terlalu bocah.
Jatuh menangis.
Teriris menangis.
Bahagia membual.

Bibirku yang terlalu kotor untuk mengecup bibirmu yang rasa stroberi itu.

Tanganku yang terlalu hina untuk menyentuh tangan cantikmu itu.

Langkahku yang sempoyongan untuk berjalan denganmu.

Tawamu yang terlalu palsu pada setiap hiburku.

Ajakku yang kau iyakan dengan tolakan, dudukku yang sembarangan, mataku yang jelalatan.

Pada sebuah sudut malam yang ada di negeri dongeng,
Aku memelukku.
Pada sebuah sudut malam yang ada di pelupuk senja yang mati,
Kamu menekukku.

Tertekuk pada kata "ayo"
Yang kau jawab, "Tidak harus sekarang, kan?"
Padahal aku tahu maksudnya.

Tidak
Untuk
Selama
Lamanya

Jadi, pada sudut malam yang terlalu khayal itu, aku mengubah lamunan.
Pergilah,
Kembali ke asalmu.
Peluklah sampai malu,
Dia,
Pulanglah ke laki-lakimu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wayang Haram dan Betapa Pentingnya Menjadi "Ingin Banyak Tahu" Ketimbang "Pintar"

Isu Logo Film Gatotkaca dan Dampak pada Budaya

Belajar Analogi dari Pak Menteri Agama