Bila... Saja

Berhenti dulu membahas realita, mari sejenak kita berkhayal. Ini semua tentang... bila... saja.

Menjadi penyuka tulisan dan menulis adalah hal paling menarik yang tidak menyenangkan. Banyak lembaran yang sudah harusnya kita tutup terpaksa kita buka lagi. Saat aku telah menulis hal tentang kita, kau malah telah menerbitkan buku tentang dia.

Selalu saja ada waktu di mana aku selalu berucap...

Bila... saja.

Bila saja aku yang lebih dulu kau kenal dibanding dia, mungkin jalan cerita dan tokoh utama dalam bukumu itu akan berubah.

Bila saja aku adalah dia dan biarkan dia merasakan apa itu aku. Andai... aku saat ini ada dalam posisinya, sedang kau cintai, sedang kau peluk erat di bilik khusus jauh di dalam dadamu, sedang kau pertahankan walau keadaan mungkin tidak memungkinkan.

Bila... saja.

Sudah aku bilang kan? Ini semua tentang bila dan jika. Realita menusuk membuatku sadar. Apa salahnya hidup dalam 'bila saja'? Toh aku yang patah hati, bukan kamu atau dia.

Biarkan saja aku dan kamu menjadi sebuah buku yang gagal di pasaran. Kau mengerti kan? Biarkan aku saja yang menikmati ceritanya. Biarkan aku berandai sampai satu per satu halaman buku ini kehilangan tulisannya. Menyadarkanku bahwa tak ada gunanya aku menulis semua ini.

"Semoga kita terhindar dari kagum yang hanya disimpan, rindu yang tak mau diungkapkan, dan cinta yang terpaksa dilenyapkan...."

Bila...
Saja...

Bila kau sudah tak lagi dengannya, pandanganmu tetap saja tidak akan beralih padaku kan? Bukankah ada saja saat di mana kita menghapus puluhan halaman yang telah kita tulis dan melupakannya begitu saja? Namun, aku tau kau berbeda. Kau akan tetap menyimpan halaman itu, menulis yang baru, tapi sama saja seperti dulu. Padahal ada aku, yang berbeda dari itu.

Akh... sudahlah. Aku juga sudah bilang untuk berhenti membahas realita.

Aku juga sudah bosan patah hati. Cemburu juga tak pernah mati. Saat lambaian tanganmu kepadaku di jam terakhir saat itu, ada pantulan bayangnya yang menunggumu dengan tegar dan setia.

AEZAKMI... hahaha.
Maaf, aku memaksa diriku untuk tertawa.

Sudahlah, aku juga sudah berusaha sedikit keras melupakan tulisan-tulisan ini. Yaa... bila saja.

Setidaknya, nama kita pernah bersanding bersama berdua dalam sebuah buku yang tak jelas publikasinya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wayang Haram dan Betapa Pentingnya Menjadi "Ingin Banyak Tahu" Ketimbang "Pintar"

Isu Logo Film Gatotkaca dan Dampak pada Budaya

Belajar Analogi dari Pak Menteri Agama