Ini Cerita Gue
Aneh, saat kulihat kembali judul yang aku tulis. Di sana aku menulis gue, sedangkan di rangkaian tulisan ini aku akan menggunakan aku.
Serupa, tapi tak sama. Aneh, dengan apa yang aku lalui 5 hari yang Indah itu. Sebuah perjalanan yang diberi judul Praktik Kuliah Lapangan. Padahal yang benar-benar bisa dibilang kuliah hanya satu hari saja, dan sisanya kalian tau sendiri. Apa lagi yang mau dilakukan di Malaysia, Singapura, dan Batam?
Awalnya, aku menulis ini untuk membantuku membuat tugas yang diberikan dan membantuku mengingat apa yang dilakukan selama 5 hari itu. Padahal yang aku ingat hanya tertawa bersama dalam bus sepanjang perjalan, keluar malam, bahkan lebih malam dari biasanya, tidur larut setelah berbincang tidak jelas dengan yang lainnya. Tapi, sudahlah, siapa tau aku bisa mengingatkan dengan menulis ini.
Malaysia
Negara serumpun yang telah banyak melakukan konflik dengan Nusantara. Dengan jalanan yang membelah gunung, gedung besar yang bahkan ada di pinggiran kota, dan tak terlihat pemukiman kumuh di kanan-kiri. Walau sangat diakui negara ini jauh lebih baik di beberapa sektor dibandingkan kita, tapi aku belum bisa menemukan hal yang bisa membuatku melupakan Nusantara. Bukan karena terlalu cinta, tapi realita yang menyeruak berteriak seperti itu.
Singapura
Negara kecil dengan keketatan yang melebihi baju ketat cewek-cewek malam di pinggiran kota Johor. Sumatera bahkan berkali-kali lipat lebih besar. Apa yang ada di sini? Tambang? SDM? Kita bahkan jauh lebih kaya, sangat jauh lebih kaya, sungguh sangat amat lebih kaya sekali. Tapi, seperti mengatur grup vokal; yang beranggotan empat orang akan lebih mudah diatur dibanding yang beranggotan 30 orang. Tidak usah bingung membangun pelosok, mereka bahkan tidak mengenal apa itu pelosok.
Batam
Sama seperti anak kost yang libur semester lalu pulang ke kampungnya. Seperti itulah kami, perjalanan waktu dilakukan. Berangkat jam 6 sore waktu Singapura dan sampai pukul 6 sore waktu Indonesia. Mungkin, untuk kembali ke masa lalu kita tidak perlu membuat mesin waktu. Ya... cukup dengan pergi ke zona waktu yang berbeda. Atau dengan tidak usah lagi menyesalinya.
Tanah air. Di sinilah kami, walau aku sendiri tidak tau apa-apa soal Batam selain elektroniknya. Namun, kami akhirnya pulang. Tak lagi perlu paspor, tak lagi harus bingung jika tersasar; provider kami sudah punya sinyal di sini.
Kota industri yang ternyata aku baru tau banyak produk elektronik dihasilkan di sini. Astra, Maspion, Samsung, dan beberapa lainnya yang aku lupa. Kota kecil yang merupakan bagian dari Provinsi Kepulauan Riau, tapi lebih besar secara wilayah hukum dibanding Singapura. Di sinilah nantinya industri kita harusnya berkembang. Semua dalam proses. Indonesia terlalu kaya, jika menyimpan hartanya sendiri. Lalu, mungkin karena itu kita berikan tanah emas Papua pada Si Penguasa.
Lebih banyak yang kami pelajari, lebih banyak yang kami dapati, lebih banyak keinginan kami untuk bersama lagi. Dan akhirnya, untuk tugas, aku tak tau apa yang akan aku tuliskan nantinya.
Akh, satu lagi. Aku mungkin akan menuliskan ini berikutnya. Tentang keputusan untuk pindah, tentang keegoisan yang aku paksa, tentang kebersamaan yang coba aku abaikan. Entah, itu cuma semacam teaser. Jadi, tunggulah.
Komentar
Posting Komentar