Secangkir Hujan dalam Balutan Senja itu

Pernah melihat orang yang terlalu bahagia sampai tak bisa menahan air matanya? Pernah?

Tak peduli apa emosinya saat itu, air mata selalu saja jatuh dengan sendu.

Pernah melihat orang yang terlalu bahagia seolah tak pernah ada kesusahan menghampirinya? Pernah?

Tak peduli apa kendalanya, senyum lebar selalu bertengger di wajahnya.

Pernah melihat orang yang tersenyum sendu saat senja? Pernah?

Tak peduli seberapa asyik orang-orang mengambil gambar, baginya kenangan di senja lebih indah terpapar.

Pernah melihat orang yang tersenyum kecil dengan mata sayu menatap hujan? Pernah?

Tak peduli seberapa basah keadaanya, baginya dingin adalah rasa terindah untuk membuka ingatan manis yang tanpa sadar terlupakan.

Pernah melihat orang yang benci saat hujan datang, padahal langit masih memaparkan cahayanya? Pernah?

Pernah melihat jalan di sisi lain? Di sana ada yang menatap langit, tertimpa hujan. Tak peduli orang-orang berlarian.

Yakinlah, mungkin itu adalah aku. Aku dan semua harapanku yang katanya terlalu tinggi. Harapan itu mulai jatuh satu per satu, menghantam seluruh tubuh. Tetap saja aku nikmati, aku pikir ini cara terbaik untuk sadar diri.

Pernah melihat orang yang menatap langit senja dengan biasa saja? Pernah?

Mungkin saja itu aku. Aku dan sadarku yang sedang menatap keinginan itu. Menatap dengan sadar kalau rasa ingin itu terlalu indah... dan terlalu jauh.

Pernah melihat hujan turun menghalangi matahari terbenam? Pernah?

Mungkin saat itu ada aku. Aku dan tanyaku yang bingung kenapa harus begitu. Kenapa tidak singkirkan saja hujan itu, supaya sekali waktu aku bisa menikmati jatuhnya bola besar pemberi kehangatan itu.

Kenapa perlu ada hujan yang menyembunyikan senja? Kenapa tidak lain kali saja? Supaya aku bisa belajar untuk mulai menikmati semua.

Kenapa tidak sekalian kau publikasikan? Supaya aku bisa diam dalam air mata yang berlinang.

Pernah melihat orang yang bersemangat dan tiba-tiba kehilangan itu setelahnya? Pernah?
Mungkin yang kau lihat itu aku. Aku dan rasaku yang berharap kamu tidak berjalan secepat itu.

Terlalu cepat, jauh.
Jatuh.

Seperti hujan yang coba aku singkirkan agar senja bisa segera aku lihat, sehingga membuatku sadar ada yang lain yang mungkin lebih indah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wayang Haram dan Betapa Pentingnya Menjadi "Ingin Banyak Tahu" Ketimbang "Pintar"

Isu Logo Film Gatotkaca dan Dampak pada Budaya

Belajar Analogi dari Pak Menteri Agama