Sebuah Tatap dengan Si Kurus

Aku baru bilang dia kurus, padahal ternyata dia lebih berisi dari aku sendiri.

Joko Pinurbo.

Aku mengetahui namanya secara tidak sengaja. Saat aku mencari nama Sapardi Djoko Damono di Youtube. Ya...  memang siapa yang secara niat mencari nama Joko Pinurbo, padahal Sapardi lebih terkenal, atau Chairil Anwar sekalian. Pada salah satu video, aku melihat wawancara Sapardi dan seorang kurus, aku bilang kurus lagi karena aku belum melihatnya secara langsung saat itu, berbicara tentang puisi. Jokpin, nama yang tertulis di judulnya, membacakan sebuah puisi. Puisi dengan kata yang hanya dibolak-balik, diacak, disamarimakan. Puisi dengan judul Kamus Kecil.

Puisi yang dalam video itu dikomentari oleh Sapardi Djoko Damono yang punya Hujan Di Bulan Juni.

Dia bilang, kalau puisi adalah nyanyi. Puisi itu harus dinyanyikan. Sapardi tidak membahas makna, bahkan dia bilang tidak mementingkan makna dalam Kamus Kecil. Entah karena puisi itu lebih enak didengar rimanya atau memang Kamus Kecil tak perlu diberi makna. Seperti dosenku yang menyuruh kami mencari puisi untuk dimaknai. Aku membawa Celana 1 dan dosen itu memanggil mahasiswa lain.

Lalu, dari Kamus Kecil itu aku mulai menyukai Si Kurus. Aku mencari puisinya yang lain. Mencari lagi dan menemukan sebuah buku dengan 122 puisinya.

Laki-laki ini membuatku tidak bisa menjelaskan apa ciri-ciri puisi. Punya rima? Punya bait? Memiliki rima akhir yang sama?

Aku mencari deklamasi puisinya dengan niat. Ya, memang siapa yang mencari Joko Pinurbo dengan tidak niat? Nihil, tidak ada pembacaan puisi yang menggebu-gebu. Puisinya datar.

Sampai pada hari ini, di sebuah acara. Aku dan teman satu kelas diminta mengisi acara yang kebetulan juga ternyata diisi oleh Joko Pinurbo. Kami ke belakang layar proyeksi. Di samping panggung. Aku melihat pengisi acara. Seorang dengan keriput dan lekungan dalam di pipinya. Seperti tidak asing lagi. Dia Joko Pinurbo. Hahaha, yang benar saja! Aku tidak yakin. Aku masih melihat ke arah lelaki itu, tidak percaya kalau itu si Jokpin yang membuat aku tidak bisa mengatakan ciri-ciri puisi itu apa saja. Sampai pada saat dia membacakan sebuah puisi. Sebuah puisi yang pernah aku baca, tapi aku lupa judulnya, sebuah puisi karya Joko Pinurbo. Lelaki itu membacakan dengan datar saja, tidak berteriak seperti pembacaan Aku ini binatang jalang dari kumpulannya yang terbuang. Tidak, tidak seperti itu. Dia membacakan dengan biasa saja, dengan nada bicara khas, aksen Jawa yang sedikit samar, tapi jelas itu nada bicara orang Jawa. Di saat itu aku yakin kalau itu Joko Pinurbo. Benar-benar si Jokpin yang membawa tiga celana, yang celananya yang pertama tidak dibahas oleh dosenku saat aku menunjukkan itu.

Aku menatapnya. Dia menatap ke arahku agak lama. Entah ke arahku atau ke arah kami, karena aku dan kami dalam KBBI memiliki arti berbeda. Namun, siapa yang peduli untuk saat ini? Kami beradu pandang agak lama. Aku ingin tersenyum ke arahnya, tapi ragu. Ragu akhirnya gagal tersenyum. Seperti saat bertemu sebuah cinta lama yang gagal.

Pada akhirnya giliran dia selesai. Kami naik panggung, dia keluar gedung. Aku gagal untuk mengambil sebuah kenang-kenangan sederhana, sebuah foto. Aku gagal untuk bilang padanya...

Selamat Menunaikan Ibadah Puisi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wayang Haram dan Betapa Pentingnya Menjadi "Ingin Banyak Tahu" Ketimbang "Pintar"

Isu Logo Film Gatotkaca dan Dampak pada Budaya

Belajar Analogi dari Pak Menteri Agama