Belajar Analogi dari Pak Menteri Agama

Kita kesampingkan dahulu perkara toa masjid yang volume pelantangnya dibatasi. Kalian bisa cari berita tersebut di laman lain. Bukan bidang saya mengomentari masalah seperti itu dan saya belum sanggup viral, hahaha.

Tentu kita tahu satu ucapan dari Menteri Agama yang sangat disoroti saat ini. Sebuah ucapan yang penuh kontroversi dan memancing setiap umat untuk berkomentar. Berikut saya kutip ucapannya dari detik.com

     "Yang paling sederhana lagi, kalau kita hidup dalam satu kompleks, misalnya. Kiri, kanan, depan belakang pelihara anjing semua. Misalnya menggonggong dalam waktu bersamaan, kita ini terganggu nggak? Artinya apa? Suara-suara ini, apa pun suara itu, harus kita atur supaya tidak jadi gangguan. Speaker di musala-masjid silakan dipakai, tetapi tolong diatur agar tidak ada terganggu," katanya.

Bapak Menteri menganalogikan suara toa masjid dengan gonggongan anjing dari segi berisiknya. Setidaknya begitulah yang disimpulkan warganet. Tidak menyalahkan jika pada akhirnya orang-orang langsung merundung Menteri Agama. Bagaimana bisa toa masjid disamakan dengan gonggongan anjing, yang sama-sama kita tahu adalah hewan najis dalam Islam.

Lalu, mengapa seorang menteri agama bisa menyamakan toa masjid dengan gonggongan anjing? 

Sebelum ke sana kita telaah dahulu apa arti analogi. Menurut KBBI analogi adalah persamaan atau persesuaian antara dua benda atau hal yang berlainan. Lalu, dalam hal ucapan Menteri Agama ini, di dalam dunia majas, dikenal dengan metafora. Metafora adalah membandingkan dua hal yang sesungguhnya berbeda, tetapi memiliki kesamaan. Oleh sebab itu, tidak salah jika warganet berpendapat kalau Menteri Agama menyamakan toa masjid dengan gonggongan anjing. Penggunaan analogi sendiri dapat dimaksudkan agar orang-orang lebih mengerti maksud perkataan kita.

Kembali ke pertanyaan utama; "mengapa seorang menteri agama bisa menyamakan toa masjid dengan gonggongan anjing?"

Saya mencoba membedah jalan pikiran Menteri Agama, sehingga dapat mengeluarkan pendapat seperti demikian.

Pertama. Menteri Agama mencoba menerangkan alasan mengapa volume pelantang/toa masjid dibatasi. Alasan yang beliau utarakan adalah untuk menjaga kerukunan antarumat beragama. Agar umat agama lain tidak terganggu dengan suara dari toa masjid yang, menurutnya, berisik.

Kedua. Menteri Agama berusaha agar alasan ini dapat diterima dan dipahami oleh setiap orang. Cara yang beliau pilih adalah dengan menggunakan analogi.

Ketiga. Menteri Agama mencari analogi yang dekat dengan masyarakat dan berhubungan dengan berisik. Lalu, analogi yang beliau dapatkan adalah suara anjing. Sama-sama dekat dengan masyarakat dan sama-sama berisik, mungkin begitu pikirnya.

Namun, bukannya menerima, masyarakat justru geram dengan anggapan ini. 

Saya mencoba mencari cara lain mengungkapkan alasan pembatasan suara masjid, jikalau saya adalah menteri agama.

1. Menganalogikan toa masjid dengan membayangkan jika ada 10 hajatan di satu lingkungan RT dalam waktu bersamaan.

2. Tidak usah pakai analogi. Toh, masyarakat sudah tahu alasannya. Justru jika kita makin banyak bicara dan cari pembelaan, kita akan lebih mudah terpeleset dari kata-kata kita sendiri.

Namun, nasi sudah menjadi bubur. Kata-kata tak bisa lagi ditarik. Menteri Agama mendapat pelajaran baru; untuk lebih memperbanyak referensi agar dapat mencari analogi secara spontan dan kalau bicara pelan-pelan saja.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wayang Haram dan Betapa Pentingnya Menjadi "Ingin Banyak Tahu" Ketimbang "Pintar"

Isu Logo Film Gatotkaca dan Dampak pada Budaya