Belajar Menghargai Perbedaan dari Transformasi Novel ke Film
Untuk mendapatkan perhatian publik untuk menonton sebuah film, terkadang produser memilih untuk memfilmkan sebuah buku. Alasannya sederhana, sebab sebuah buku sudah punya penggemarnya sendiri. Misalkan novel Dia Adalah Dilanku 1990 yang diadaptasi menjadi film Dilan 1990, kemudian sekuelnya Dilan 1991.
Di dalam pengalihwahanaan sebuah novel menjadi film, seorang sutradara dan penulis naskah seringkali memasukkan interpretasinya sendiri ke dalam film yang sedang dia garap. Apakah salah? Tentu tidak. Tidak semua hal yang terdapat di dalam novel bisa divisualisasikan ke dalam film, terkadang malah perlu diubah. Eneste, yang menggunakan istilah ekranisasi untuk menyebut alih wahana, menyatakan ada 3 hal yang terjadi dalam proses pengalihwahanaan novel menjadi film, yaitu penciutan, penambahan, dan perubahan bervariasi.
Ada hal yang dihilangkan, ditambah, dan diubah.
Oleh karena itu, wajar juga ada penonton yang juga pembaca sebuah novel yang difilmkan kecewa dengan film tersebut.
Sebagai contohnya adalah novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer yang akan difilmkan oleh sutradara Hanung Bramantyo. Kekecewaan tersebut bahkan muncul saat proses syuting film belum dilakukan. Kekecewaan terjadi karena pemilihan pemeran utamanya yaitu Iqbal Ramadhan.
Contoh film lain yang mengundang kekecewaan penonton adalah Hujan Bulan Juni yang diangkat dari novel Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono. Salah satu kekecewaan adalah lagu tema yang dipilih untuk film tersebut adalah musikalisasi puisi Hujan Bulan Juni yang dinyanyikan oleh Ghaitsa Kenang, bukan musikalisasi yang dinyanyikan oleh Ari dan Reda.
Sebenarnya pemilihan penyanyi ini, jika bukan dilihat dari segi industri, adalah bentuk interpretasi yang bisa kita ambil. Ghaitsa Kenang menyanyikan Hujan Bulan Juni dengan unsur ceria yang menggambarkan kisah cinta antara kaum Dilan dan Milea, sedangkan Ari Reda menyanyikan Hujan Bulan Juni dengan lebih sedih yang jika diibaratkan seperti kisah cinta antara Reza Rahardian dan Bunga Citra Lestari.
Apakah salah? Tentu tidak.
Sebab kita tidak bisa menyalahkan interpretasi seseorang. Kita tidak bisa meletakkan interpretasi ke dalam kotak benar dan salah. Sebab dengan begitu kita lebih terbuka terhadap pandangan orang lain.
Sesederhana dapat mengindahkan interpretasi seseorang, sesederhana itu kita dapat menerima perbedaan.
Orang yang sering membaca karya sastra akan lebih mudah menerima perbedaan. Sebab, di dalam sebuah karya akan banyak pemahaman yang dapat diambil.
Bahkan, sebuah karya sastra hidup dari banyaknya interpretasi.
Oleh karena itu perbedaan dibuat, untuk memberagamkan bukan menyeragamkan.
Komentar
Posting Komentar