MARSINAH BELUM MATI

Cerpen ini pernah dimuat di Sumatera Ekspres edisi Sabtu, 15 Desember 2018.

Bos perusahaan tambang emas itu langsung pucat saat baru saja datang ke salah satu lokasi tambangnya.Harusnya dia sudah mati…” gumam sang bos. Matanya menatap ke salah satu bawahannya, Marsinah. Satu-satunya wanita yang bertugas di tambang itu.




Sang bos menatap tajam ke arah tiga ajudan kepercayaannya, mengisyaratkan kepada mereka untuk mendekat.

Kenapa Bos?” Tanya salah satu ajudannya yang paling besar dengan sedikit membungkuk.

Lihat!” Bos menunjuk Marsinah. Kenapa dia masih di sini?”

Seolah terkomando, tiga ajudan itu kaget bukan main.

“Ti… tidak mungkin! Kami sudah memastikan kalau dia sudah mati kemarin,jawab ajudan kedua yang matanya pecak sebelah dengan gemetar.

Iya, bahkan sebelum menguburnya di hutan, Bos sudah meihat kan kalau dia sudah mati?” Ajudan ketiga yang punya betis besar pun tidak kalah gemetarnya.

Aku tidak mau tahu, malam ini bunuh lagi dia!” Bentak Bos.

Marsinah adalah wanita berumur 24 tahun, terlalu muda untuk bekerja di pertambangan semacam ini. Dia masih bisa bersekolah lebih tinggi atau bekerja di tempat yang lebih layak untuk seorang wanita 24 tahun. Itu pun kalau ibunya berpenghasilan lebih dari pas-pasan dan bapaknya tidak meninggal saat bekerja di tambang emas tempat Marsinah bekerja sekarang.

Semalam mungkin adalah malam terkelam dalam hidup Marsinah. Dia diundang bos tambangnya untuk membicarakan tuntutan yang diajukan Marsinah dan penambang-penambang emas lainnya. Kenaikan gaji. Harga emas sedang naik, tapi tidak ada kenaikan upah untuk para penambang. Seolah semua hasil tambang direnggut untuk kepentingan atasan. Namun, bukan musyawarah yang Marsinah dapatkan di pertemuan itu. Marsinah dibawa ke sebuah hutan di desa sebelah. Tangan dan kakinya diikat dengan tambang, mulutnya dibungkam dengan kaos yang sudah kusam. Di sanalah, di hadapan Sang Bos, Marsinah disiksa, dipukuli, dipaksa bungkam, dan berhentilah detak jantungnya.

Hanya Sang Bos dan tiga ajudannya yang tahu kejadian itu. Namun, tidak ada yang tahu mengapa Marsinah masih bisa datang bekerja pagi ini. Marsinah!” Ajudan yang berbadan besar memanggil dari kejauhan. Marsinah dengan tegap datang menghampiri.Malam ini datang ke kantor, Bos ingin membicarakan tuntutan kalian,Marsinah tersenyum dan mengangguk mendengar tawaran itu. Entah tersenyum karena tuntutannya akan dipenuhi atau tersenyum karena tahu malam ini ia akan dibunuh lagi.

Malam telah datang, tapi bulan masih berselimut awan. Marsinah dengan langkah tegap mengetuk pintu ruangan bosnya. Sama seperti kemarin, saat dia diseret ke hutan dan dibunuh para ajudan. Bagaimana? Apa kalian masih ingin menuntut kenaikan gaji?” Bos membuka percakapan.

Tentu! Walau harga emas nanti turun, kami tetap meminta kenaikan upah, karena kalian sudah mengambil apa yang harusnya menjadi milik kami.” Jawab Marsinah lantang.

Tenang, kami akan naikkan upah kalian, tapi untuk yang bisa menambang lebih banyak emas, naik delapan persen.”

Tidak, kami menambang dan semua hasil digabungkan. Kalau upah naik karena hasil tambang kami meningkat, penambang akan mencari sendiri-sendiri dan hasilnya akan menjadi lebih sedikit dibanding mencari bersama, dan kalaupun kami menggabungkan hasil tambang kami lalu mendapat bonus delapan persen, itu tidak ada seujung jari dibanding kenaikan harga emas,Marsinah menolak dengan tegas.

Aduh, aduh Marsinah, kita ini tambang ilegal, tidak bisa serta-merta menaikkan upah.”

Kau Bos, kau bisa menaikkan upah kami tanpa perlu takut kau jatuh miskin, memangnya kami sebodoh itu sampai tidak tahu?”

Bos menggelengkan kepala, tapi ada senyum di wajahnya. Matanya melirik ke arah para ajudan, memberikan kode. Ajudan langsung menyekap Marsinah, mengikat tangan dan kakinya, menyumpal mulutnya dengan kaos yang sudah kusam, dan dibawa ke hutan di desa sebelah. Di sana Marsinah disiksa dengan berbagai benda, dipukul di kepala, ditampar, ditarik rambutnya, dan diseret makin dalam ke hutan. Hingga akhirnya napas Marsinah tak sanggup keluar, ajudan yang paling besar badannya menggali tanah dengan cangkul yang sudah berlumur darah Marsinah dan dikuburlah Marsinah di sana. Seperti kemarin malam.

Keesokan paginya, Sang Bos datang ke lokasi tambang dengan tampang tak bersalah. Langkahnya ringan, seolah baru saja menyelesaikan rintangan terakhir dalam hidup. Namun, hal itu tidak berlangsung lama, wajahnya tiba-tiba memucat. Bahkan lebih pucat dari kemarin pagi. Dia melihat ke arah penambang, ada seorang penambang yang seharusnya tidak ada di sana. Seorang penambang wanita satu-satunya, penambang yang mestinya sudah tewas terkubur semalam. Marsinah masih menambang di sana.

Ajudan, ke sini cepat!” Bos memanggil tiga ajudan kepercayaannya.

Iya, Bos?” Ucap ajudan yang matanya pecak sambil membungkukan badannya.

Lihat! Bukannya aku menyuruh kalian membunuh wanita itu?” Bos menunjuk Marsinah dengan raut lebih marah dari kemarin.

“A… aneh, bukannya bos sendiri melihat kalau semalam dia sudah kami bantai dan mayatnya dikubur di hutan kampung sebelah.”

Aku tidak mau tahu, bunuh dia sekarang juga, di depan para penambang lainnya!”

“Ta, tapi, kita akan dipenjara kalau melakukan itu bos.”

Tidak akan ada yang berani melaporkan, mereka akan kehilangan mata pencarian mereka kalau melakukan itu. Kalau menolak, kalian akan merasakan hal yang sama.

Tanpa tahu harus memilih jalan yang mana, tiga ajudan itu mendatangi Marsinah. Salah satu dari mereka membawa pistol rakitan yang didapat secara ilegal. Tentu, tambang ini saja ilegal, tidak mungkin senjata mereka tidak. Tidak ada basa-basi, letusan keras senjata api menggema bersamaan dengan sebuah lubang di kepala Marsinah. Wanita itu terjatuh. Penambang lain terkejut bukan main, semua langsung datang menghampiri.

Inilah akibat kalau kalian melawan atasan,Bos berteriak dari kejauhan. Ada lagi yang melawan, tumpahan darah akan makin banyak.” Semua bingung. Ada mayat terguling, dan sebuah ancaman menggelinding. Mana yang mau diperhatikan?

Sorenya jasad Marsinah dimakamkan dengan layak. Semua keluarga dan rekan yang datang menangis sesenggukan, tidak ada yang mau cerita kenapa Marsinah bisa mati mengenaskan. Peluru nyasar,” ucap Bos. Kami akan beri dia tunjangan yang layak.”

Tidak ada malam yang lebih menyenangkan dibandingkan malam ini. Bos sudah memastikan dengan amat sangat kalau Marsinah sudah mati. Tidak akan ada lagi yang mengganggu bisnisnya, tidak akan ada lagi protes soal kenaikan upah, tidak akan ada lagi semuanya.

Kali ini Bos datang sendiri tanpa didampingi tiga ajudannya. Melangkah dengan lebih percaya diri. Sampai matanya menatap seseorang yang sudah sangat tidak asing lagi. Penambang wanita satu-satunya di sana. Matanya terbelalak, seolah kedua bola matanya akan keluar. Wanita itu berjalan pelan, tapi lebih percaya diri dibanding Sang Bos. Dia tersenyum, “Marsinah belum mati, dan akan selalu belum mati.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wayang Haram dan Betapa Pentingnya Menjadi "Ingin Banyak Tahu" Ketimbang "Pintar"

Isu Logo Film Gatotkaca dan Dampak pada Budaya

Belajar Analogi dari Pak Menteri Agama