Saatnya Menjadi Joker

2016, tahunnya para superhero. Diawali oleh mutan yang pernah berbaju hijau ketat, Deadpool. Lalu disusul nanti pertempuran antara superhero terbaik Paman Sam, Captain America: Civil War dan Batman vs Superman. Namun, kita lupa satu hal. Ada sekumpulan penjahat DC yang sudah bersatu mempertaruhkan nyawa untuk sebuah misi rahasia; Suicide Squad.

Gue bukan penggemar para antek-antek Amerika itu. Jadi, gue gak akan bahas mereka. Yang mau gue bahas adalah ini bukan tahun para hero. Saatnya kami, para villain, bermunculan. Gue sempet berpikir kalau sebenernya gue adalah orang baik-baik. Ternyata salah. Gue manusia penuh dendam berisi ego.

Gue seperti Joker yang selalu bilang, "Why so serious?" Gue seperti psikopat yang berusaha membunuh perasaan demi kepuasan.

Gue juga seperti Green Goblin yang entah dengan tujuan apa merusak semuanya.

Gue merasa jadi Hulk di awal masa kemunculannya; mudah sekali terbawa semua emosi.

Di saat gue berharap menjadi HawkEye, gue malah jadi penjahat sekelas dr. Octopus. Entah karena kelabilan gue, gue dengan begonya mati.

Ketika gue yakin ingin jadi Antman yang bisa menyusuri tempat baru dengan semua alat canggihnya, gue cuma bisa jadi parasit sejenis Venom. Cuma dengan sedikit suara frekuensi tinggi saja bisa mati.

Akhirnya gue sadar, tidak ada satupun superhero yang ada dalam diri gue. Sudah saatnya gue sadar lagi, untuk apa jadi tetragonis seperti JARVIS yang tidak satupun penggemar Marvel mengaguminya. Kalau tidak bisa jadi pahlawan, maka jadilah penjahat. Penyeimbang dalam kehidupan.

Mungkin sedikit Deadpool ada dalam diri gue. Egois. Not my movie, not my problem.

Saatnya jadi seperti Joker sekalian. Menutupi semua dengan make up tebal, menjadi psikopat dengan rambut hijau, menjadi penjahat paling dikenal.

Gue tau ini salah, tapi Joker tidak pernah merasa salah demi keinginannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wayang Haram dan Betapa Pentingnya Menjadi "Ingin Banyak Tahu" Ketimbang "Pintar"

Isu Logo Film Gatotkaca dan Dampak pada Budaya

Belajar Analogi dari Pak Menteri Agama