Tragedi Cerpen Plagiat

Berhentilah mengikutiku.
Cerita pendekmu itu menghalangi kemenanganku.

Latarnya hutan, kisahnya cinta, akhirnya bahagia.
Kau cuma bedakan tokoh di dalamnya.
Aku Zainab dan Ginting,
Kau Zubaidah dan Subi.

Aku tak suka orang yang mengganggu.
Berhentilah terbelenggu dalam harapmu yang nyatanya semu.
Asu!

Cerpenmu itu, harusnya aku yang menang!
Bukan kau yang menulisnya dengan tenang, aku di sini terkekang.
Jauh-jauh pergilah.

Kau cuma pengganggu.
Persetan apa isi hadiahmu.

Tak usah sok lugu.
Pertemanan kita jelas cuma palsu.
Kau mengincar ideku.
Menyogokku dengan kado hasil tabunganmu.

Aku tak butuh.

Cerpenku jelas harus menang!
Lalu dapat hadiah jutaan.

Berhentilah jadi peniru.
Aku sudah merasa terganggu.
Kau cuma waktu sengganggku.
Namun, kini aku sedang sibuk.

Ceritamu, harusnya berakhir seperti yang sudah-sudah.
Tak pernah ada rasa bahagia.

Disalip.
Ditinggalkan tanpa tahu apa alasan.
Berakhir dengan sebelah tangan.

Cukup seperti itu!
Tak usah sok bikin bahagia.
Itu ciri cerpenku.
Kau tak pernah buat yang begitu.

Dasar plagiat!
Sok menulis dengan giat.
Padahal ideku kau sikat.

Mau bicara apa lagi?
Mati saja sendiri.
Tidak akan ada yang menangisi.

Kau kesepian?
Terserah, jangan harap aku perhatian.
Kedekatan kita cukup sekian.
Kau cuma mau dapat hadiah jutaan.

Menjauhlah,
Begah sudah.

Kupikir kau baik,
Ternyata tujuanmu busuk lebih dari taik.

Kau kirim cerpenmu dan selalu menang dariku.
Kupikir kau hebat,
Ternyata plagiat.

Saat kubaca semua itu,
Ternyata aku memang tak pernah mau kita satu.

Berhentilah menulis cerita,
Hidupmu akan penuh dengan derita.

Berhentilah mencari tahu,
Kalau kau tahu kau akan akhiri hidupmu.

Berhenti mengikuti,
Aku tidak mau ideku kau ambil alih.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wayang Haram dan Betapa Pentingnya Menjadi "Ingin Banyak Tahu" Ketimbang "Pintar"

Isu Logo Film Gatotkaca dan Dampak pada Budaya

Belajar Analogi dari Pak Menteri Agama