Instagram, sudah merubah tampilannya. Ada yang suka ada yang tidak. Terserah, menurutku setiap perubahan terjadi karena ada kebosanan yang dirasakan. Seperti hukum cause and effect.
Begitupun aku, kelas 1 SMP awal aku merasakan cinta, sejenak rehat satu setengah tahun, akhirnya aku menemui orang yang kisahnya kutuliskan dalam buku yang sulit untuk diterbitkan. Beralih dari masa SMA ke masa kuliah. Aku harus kecewa lagi karena cinta. Oke, cukup untuk nostalgia.
Ada yang mengatakan dia menganggapku teman seperjuangan, padahal aku tidak berjuang bersamanya... aku berjuang untuknya. Dia bilang untuk tidak melebihkan, tapi aku lebih tau patah hati itu menyakitkan.
Seperti tap dua kali di Instagram-mu yang tidak kulakukan, seperti tap dua kali di Instagram-ku yang tidak kau lakukan. Kita memiliki banyak kesamaan, dan persamaan itu seolah menunjukkan kalau kita terlalu berbeda untuk bersama.
Satu tahun adalah waktu yang singkat, jika dibanding angka 3. Aku juga mengerti bagaimana rasanya mencintai dan tersakiti. Aku rasa aku lebih tau. Kau pernah bersama dengan orang yang kau sukai, maaf, maksudku masih. Aku? Seperti yang kau tau... cuma jatuh cinta dalam harap yang terkekang dalam gelap. Kau tidak tau rasanya mencintai orang yang terlalu mencintai kekasihnya, kau tidak tau bagaimana harus menunggu tiga tahun dan akhirnya diabaikan dalam murung, kau tidak tau bagaimana rasanya orang yang kau cintai pergi bersama orang yang terus kau percayai.
Bukan aku yang berlebihan, aku hanya takut kehilangan.
Seperti foto-foto di akunmu yang kau hapus, aku coba untuk tidak tergerus dalam masa lalu. Aku tidak sedang mencintai orang lain, aku tidak sedang menulis tentang masa lalu, aku menulis tentang alasanku tetap setia melihat sosial mediamu.
Kau rasakan tidak enaknya masuk zona teman? Aku rasakan bagaimana kau yang ada di zona itu memasukkan aku dalam daftar pertemananmu.
Setengah tahun lalu aku mencintaimu dalam diam, mulai mendekatimu dengan tenang dan akhirnya kau kembali kepada mantan. Aku cuma bisa tertawa dalam luka, melihat sosial mediamu dengan semu, kucaci habis-habisan dia dalam tulisan yang sudah entah kemana sekarang.
Aku tidak bicara tentang orang lain.
Sekarang entah kenapa aku masih berharap, berdiam dalam hari yang terasa gelap. Butuhkah tamparanmu untuk menyadarkanku bahwa kamu tak pernah ada rasa untukku?
Kamu cuma seperti Instagram; tumpukan hati dalam notifikasi, datang, terlupa, dan pergi.
Cintamu pada orang lain lah yang kubenci. Terbawa kesal dalam setiap kata yang kukirim. Kapan aku bahagia dalam cinta? Kapan untukku kau akhirnya ada rasa?
Aku bukanlah orang yang pandai merangkai kata dalam cerita, dalam setiap unggahan di beranda sosial media. Aku tak bisa memadukan gambar dan curahan dalam baris panjang untuk aku ceritakan. Aku mungkin tak memiliki cintamu yang sudah kau sumbangkan dengan pengorbanan, tapi aku... aku tak tau, mungkin memang saatnya untuk berubah. Seperti Instagram dan seisinya.
Tidak, aku bercanda, untukmu aku tak bisa berubah. Untukmu aku butuh kau paksa. Biarkan aku jatuh cinta dan memiliki atau berikan aku tanda kalau kau memang kisah patah hati lain yang harus aku bagi.
Catatan dari aku yang berjuang.
Komentar
Posting Komentar