Jangan Pernah Merasa Sendiri

Bulan Juli, hujan masih saja menjadi. Bukan sebuah hambatan  bagiku. Di sini, di tempat dan waktu yang sama seperti saat kita bertemu, aku sedang menunggumu. Dengan segelas Latte kesukaanmu dan kopi hitam yang biasa aku teguk. Kamu belum juga datang, pegawai cafe sudah melihatku curiga.

Berkali-kali aku mengirim pesan kepadamu, "Sayang, aku sudah di lokasi. Kamu di mana?" Percuma, semua pesanku cuma bertanda centang. Aku harusnya tau itu, adikmu sudah menghapus semua media sosialmu setelah sebelumnya meminta maaf pada setiap kontak yang ada. Jujur, aku tak suka caranya. Dia benar-benar menganggap kau sudah tidak ada, padahal aku yakin kau orang yang selalu tepati janji. Kita sudah berjanji akan bertemu hari ini.

Aku yakin kau akan tetap datang walau sedan bangsat itu menabrakmu keras saat kau sedang menungguku. Semua orang benar-benar menganggapmu sudah pergi. Termasuk sahabat dekatmu itu, pagi tadi aku berpapasan dengannya. Dia bertanya mau kemana aku. Dia tiba-tiba melarangku saat aku bilang akan menemuimu di sini. Padahal dia sangat tau kau orang yang tidak pernah ingkar janji. Sekali kau berjanji, kau akan tepati. Aku yakin saat ini juga. Kenapa tidak ada yang percaya denganku saat ini, Sayang?

Oh ayolah, aku sudah menunggumu dua jam di sini. Para pegawai itu mulai menatapku tidak senang. Di mana kamu sekarang?

Akh, ponselku bergetar. Pesan dari... kamu sayang, kau sudah di sini. Akh, akhirnya kau datang.

Prang...!!!

Tu... tunggu, kanapa kau menjatuhkan gelas itu? Aku akan dimarahi pegawai cafe ini nanti. Aku sudah menunggumu lama dan kau malah marah seperti ini? Aku bereskan dulu pecahannya akan sakit kalau tertusuk nanti.

Sakit?

Tunggu, apa kau merasakan sakit, Sayang? Apa kau sebenarnya sudah menungguku dari tadi? Baiklah, aku yang bodoh. Aku akan membuat diriku merasakan apa yang kau rasa. Lihat, aku sudah menggoreskan tanganku dengan pecahan gelas ini. Darah keluar sangat banyak. Ini sakit sekali, apa yang kau rasakan lebih dari ini? Akhh... semua gelap. Semakin gelap saja rasanya. Apa dengan begini kita bisa seperti dulu lagi? Apa dengan ini semua orang akan percaya dengan apa yang kukatakan?

Aku menantikan itu. Lihat, semua orang berlari ke arahku. Sepertinya aku akan diusir. Akh, aku bisa melihatmu sekarang. Sama seperti dahulu, jantungku berhenti berdetak saat melihatmu. Sekarang dia benar-benar berhenti berdetak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wayang Haram dan Betapa Pentingnya Menjadi "Ingin Banyak Tahu" Ketimbang "Pintar"

Isu Logo Film Gatotkaca dan Dampak pada Budaya

Belajar Analogi dari Pak Menteri Agama