Untuk Si Sepatu Biru Kecil

Entah berapa kali kita bertemu, entah berapa kali aku berpikir untuk menulismu dalam goresanku. Tentang kamu si sepatu biru kecil yang berderet manja dalam rak sepatu di perpustakaan. Aku selalu membayangkan seperti apa pemilik kaki mungil yang masuk ke dalam dua lubang mungil yang kau miliki. Seberapa jauh tinggiku dengannya, seberapa manis lengkung senyum di bibirnya, seberapa tajam dan memikat kedua jernih bola matanya. Namun, saat kamu kutinggalkan, tidak ada yang sama seperti yang aku bayangkan dalam ruangan itu. Entah yang mana pemilikmu.

Aku tidak tahu apakah itu kamu yang aku temui atau sepatu modelmu sedang laku di pasaran. Warna biru muda dengan tali putih dan lengkungan merk di sisinya. Yang pasti aku tidak pernah dapat membayangkan pemilikmu secara utuh. Cuma satu demi satu bagian wajah yang bersatu malah membuat bayangan lain.

Sepatu biru kecil itu masih bertengger di sebelah sepatu kusamku yang lebih besar. Tidak ada sepatu laki-laki di sekitarmu. Apakah itu artinya kau masih sendiri? Atau hanya kebetulan saja sendiri? Atau aku saja yang tidak menyadari sepatu lelakimu di sisi lain?

Lagi, entah kenapa aku selalu merasa pemilikmu adalah ciptaan Tuhan yang beruntung. Pemilik hati pemilikmu adalah yang lebih beruntung. Memiliki pemilikmu, dimiliki pemilikmu.

Padahal, pemilikmu saja aku tidak tahu yang mana. Aku sudah saja berpikir dia ada yang punya. Apa kekecewaan berakhir separah itu?

Sepatu biru kecil yang aku pikirkan selagi aku mengetik dalam lantunan tidak beraturan papan ketik, duduk di sebelah mana pemilikmu? Tunjukkan saja dengan sembunyi-sembunyi dengan agletmu yang sebelah kiri. Kanan pun jadi.

Jadi, sepatu biru kecil, bisakah kau buat saat pemilikmu dan aku bertemu dalam ketidaksengajaan sebuah percakapan dalam obrolan panjang yang mengakrabkan? Aku menunggu dengan santai, jangan buat dia melangkah terburu-buru, kasihan kaki kecilnya itu.

Tapi, untuk sementara nyamanlah dulu duduk di sebelah sepasang sepatu besarku itu. Aku permisi menyusun cita-cita terlebih dulu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wayang Haram dan Betapa Pentingnya Menjadi "Ingin Banyak Tahu" Ketimbang "Pintar"

Isu Logo Film Gatotkaca dan Dampak pada Budaya

Belajar Analogi dari Pak Menteri Agama