Na If

Sebenarnya aku ingin berhenti menulis ini. Rasanya sudah bosan berharap, rasanya sudah tidak ingin patah hati. Rasanya tidak ingin lagi tulisan ini karena dia, Na if.

Terkadang I love you cuma bingkai dalam kalbu. Memperindah hati yang rasanya mau mati.

Dulu ada penyesalan yang karena waktu mulai berjauhan. Entah kenapa aku ingin kembali menemuinya dan meminta maaf atas perasaan yang tidak bisa terungkapkan. Na if, ini bukan tentang yang itu. Ada satu lagi yang sedekat dahulu dan dialah yang memupuk mesiu itu. Menunggu saatnya kembali meledak, hancur, dan tersedak dengan semua air mata.

Semuanya menuntunku untuk membenci cinta, bahkan benci dengan kebencian itu sendiri. Jatuh cinta adalah hal tertaik yang pernah ada. Jatuh Cinta adalah penemuan paling gagal sepanjang sejarah manusia. Dengar itu, hmm, naif.

Cari yang pasti katanya, karena itu aku berhenti mencari. Jatuh cinta adalah soal menunggu, bukan memaksa pindah ke yang baru. Naif, pernah ada yang sebenarnya bisa jadi yang pertama untukku, tapi percuma, sekarang pun dia sudah menjauh.

Naif. Na if.

Bila matematika mengenal jika dan hanya jika, jatuh cinta mengenal kamu dan hanya kamu. Pemikiran bodoh untuk tetap setia pada ketidakpastian.

Aku sudah terlalu bodoh untuk sengaja patah hati. Jika jatuh cinta membuat tai jadi serasa cokelat, patah hati membuat cokelat jadi serasa tai. Aku berkali-kali sadar untuk memakan semua tai itu. 

Kamu adalah kelemahan terbesar yang membuat menyerah menjadi kata kerja yang tidak pernah dianggap ada. Aku tidak pernah membuka kamus untuk tau kalau kamu tidak akan pernah bisa menjadi kita.

Aku pikir tulisanku cuma akan berisi tawa dari derita yang pernah aku rasa. Ya... teman yang membuat semua itu terjadi sudah pergi, aku harus memutar pedal itu sendiri. Memutar sudut untuk menempati sudut lain. Menjadi mereka yang entah kenapa membuat sendiri jadi tak berarti.

Naif, aku masih saja berharap. Aku tak ingin jadi peka, jika hanya kesalahan terjemah yang aku lakukan. Bukankah menyenangkan jika cinta adalah sampah daur ulang yang dengan mudah kita buang?

Bukankah menyenangkan jika tombol undo itu ada? Aku akan me-reset lagi semua kesalahan, menyatakan kalau aku telah jatuh dengan dia, sehingga kamu bukanlah alasanku jatuh cinta.

Bukankah menyenangkan jika saat ini aku menulis tentang anniversary kami yang mungkin membuatmu iri?

Bukankah dulu, kalau kau mau tau, dia sudah memberi kesempatan padaku, sehingga, mungkin kini, kamu bukanlah nama yang terukir setelah kata 'I love you'  dariku?

Bukankah menyenangkan jika saat ini sosial mediaku berisi wajahnya? Bukan wajahmu yang selalu tidak bisa aku bagikan.

Naif. Aku mulai berharap pada masa lalu saat aku gagal dalam masa depanku.

Sudahlah, aku sudah terlalu naif dengan terus berharap.

Tidak peduli seberapa menyenangkan jatuh cinta, patah hati selalu saja menyakitkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Padahal Aku Mau Berhenti

Belajar Menghargai Perbedaan dari Transformasi Novel ke Film

Semerbak Semalam