Postingan

Menampilkan postingan dari 2016

Mengancurkan Indonesia itu Mudah

2016, menjadi tahun yang membuat SARA menjadi begitu terkenal. Dari sini kita bicara serius dulu, tetep santai, hindari panas. Seorang gubernur dilaporkan karena menistakan agama, hiasan Natal di sebuah hotel berlafadz Allah seolah diinjak-injak, boikot sana-sini, tokoh FPI dilaporkan karena dugaan penistaan agama, uang baru muncul, kenapa tokoh ini tidak berhijab? Kenapa kebanyakan tokoh di uang baru kebanyakan non-muslim? Setiap orang berhak menjadi presiden, bukan begitu? Lalu, coba kita ambil satu tokoh besar di Papua yang non-muslim untuk menjadi presiden, sebesar apa rasis yang bertebaran? Dulu WNI keturunan Tionghoa bahkan dibuli habis-habisan. Ernest Prakasa bahkan menikahi pribumi agar anaknya tidak bernasib seperti dia. Ini Indonesia? Seorang pengguna Twitter bercuit tentang pahlawan yang berada di pecahan Rupiah baru. Seorang pahlawan asal Tanah Mutiara Hitam. Berkomentar mengejek, kenapa harus dia? Siapa memangnya dia? Non-muslim banyak di pecahan rupiah baru? Konspir

Cerpen: Stasiun Kereta dan Kita

Stasiun Kereta dan Kita 02 Oktober, aku menghabiskan waktku di stasiun kereta api Kertapati, Palembang. Seperti bisanya, aku duduk di deretan bangku memanjang yang memang disiapkan untuk para penumpang yang sedang menunggu jam keberangkatan kereta atau menunggu teman, keluarga, pasangan atau siapa pun turun dari kereta. Seperti aku yang saat ini sedang menunggumu. Stasiun kereta jadi semacam tempat berisi banyak kenangan bagiku, mungkin seperti bandara bagi orang-orang kota yang meninggalkan keluarganya. Banyak sekali kenangan, dan entah kenapa setiap kenangan yang menurutku menarik dari stasiun kereta ini selalu menyelipkan namamu di dalamnya. Seperti awal pertemuan kita, kau datang bersama sepupuku. Ya, kalian berdua adalah teman dekat. Kau dan sepupuku baru saja lulus SMA, dan kalian akan ikut daftar ulang di salah satu universitas negeri terbesar di Sumatera Selatan. Universitas tempatku berkuliah. Awalnya, aku hanya dimintai oleh tanteku, ibu dari sepupuku, untuk menema

Imaji Pura-Pura

Kali ini hujan terasa turun dengan malu-malu. Seperti ingin jatuh, tapi berkata, "Tunggu dulu." Berbeda dengan malam yang datang dengan tiba-tiba. Berkata lantang, "Aku sudah saatnya." Seperti perpaduan antara keduanya, hujan menciptakan malam yang lebih dingin dari biasanya. Kalau saja kau tahu, aku ingin mencairkan dingin itu. Tapi, logo centang dan warna hijau itu menghalangi. Buatku terus berpikir untuk berpura-pura. Berpura-pura dengan kata yang berupa-rupa tak akan bisa membuatku lupa-lupa. Lupa-lupa akan perasaan yang meluap-luap bagai air hangat yang beruap-uap. Beruap-uap dalam harap-harap yang aku pegang erat-erat. Aku angkat bicara dalam kepura-puraanku agar aku ingat untuk lupa kalau aku berpura-pura. Karena perasaan hanya untuk satu hati, tak mungkin menjadikannya dua hati. Karena dua hati berarti hati-hati. Hati-hati untuk tetap melangkah tertatih-tatih. Tertatih-tatih dalam menjalani hari-hari penuh hati-hati. Untuk bisa lupa, aku pura-pura b

Titik Dua Tutup Kurung

Belakangan ini aku baru menyadari, cuaca sedang mengalami pubertas. Pubertas yang dia alami tiap tahun. Terkadang panas, tapi tiba-tiba hujan. Entah apa maunya. Seperti kebanyakan manusia dalam masa pubertas... labil. Masa itu harusnya sudah lewat, masa itu harusnya terjadi saat aku akhirnya mendapatkan orang yang pernah mau mencoba menerimaku, dulu. Ini bukan soal pubertas, labil? Mungkin. Seperti selama ini, saat aku ingin mencintaimu dengan sederhana. Seperti semua deret dalam sajak Tuan Sapardi. Entah sekokoh kayu yang tak berkutik di depan api, entah semelankolis awan yang rela hilang demi hujan. Namun, seperti itulah aku. Mencoba kokoh, tapi tak tau kalau memang sudah roboh. Harapan itu seperti api pada hujan, seperti panas pada besi, seperti syair yang kehilangan aksara. Mengajakmu adalah kesalahan besar bagiku. Cermin tak terlalu mampu sadarkan diriku. Saat aku berharap ada satu saja pesan basa-basi darimu, aku harusnya tau siapa memangnya aku? Bukan siapa-siapa, bukan apa

Upnormal

Upnormal             "Sudahlah sadar saja! Lihat kenyataan!" Orang di depanku ini selalu mengatakan hal yang bertentangan dengan apa yang aku inginkan.             "Kau tidak tau seberapa besar aku sudah jatuh kepada dia?" Aku mengatakan hal ini lagi untuk ke sekian kali. Orang di depanku ini masih saja tak mengacuhkan.             "Dia? Apa dia juga merasakan sama seperti yang kamu rasa, hah? Tolol juga punya batas!" Dia masih saja menentang perasaanku.             "Apa salah orang yang jatuh cinta? Apa salah orang yang tetap mencintai satu orang gadis?" Aku menaikkan nada bicaraku.             "Apa cinta memang setidak-punya-logika ini? Apa cinta memang tidak punya mata untuk melihat?" Orang di depanku malah lebih meninggikan suaranya dariku. ***             Aku adalah orang yang menulis sesuatu sesuai seleraku. Aku tidak pernah peduli dengan selera orang lain. Karena itu banyak sekali penolakan datang menghampirku

Secangkir Hujan dalam Balutan Senja itu

Pernah melihat orang yang terlalu bahagia sampai tak bisa menahan air matanya? Pernah? Tak peduli apa emosinya saat itu, air mata selalu saja jatuh dengan sendu. Pernah melihat orang yang terlalu bahagia seolah tak pernah ada kesusahan menghampirinya? Pernah? Tak peduli apa kendalanya, senyum lebar selalu bertengger di wajahnya. Pernah melihat orang yang tersenyum sendu saat senja? Pernah? Tak peduli seberapa asyik orang-orang mengambil gambar, baginya kenangan di senja lebih indah terpapar. Pernah melihat orang yang tersenyum kecil dengan mata sayu menatap hujan? Pernah? Tak peduli seberapa basah keadaanya, baginya dingin adalah rasa terindah untuk membuka ingatan manis yang tanpa sadar terlupakan. Pernah melihat orang yang benci saat hujan datang, padahal langit masih memaparkan cahayanya? Pernah? Pernah melihat jalan di sisi lain? Di sana ada yang menatap langit, tertimpa hujan. Tak peduli orang-orang berlarian. Yakinlah, mungkin itu adalah aku. Aku dan semua harapanku yan

Antologi

Bersiaplah, aku mencoba mengulangnya kembali dan menyatakan seberapa serius kalo ini. Pertama , aku tak akan berbasa-basi. Aku membencimu. Aku benci saat kamu melihat mataku terlalu lama aku benci dengan setiap sentuhan tangan saat kita berdampingan. Aku benci dengan setiap kebencian yang aku paksakan. Kedua , Aku tau aku terlalu jauh jatuh padamu. Aku tau saat melihat matamu, aku telah tersesat dalam jatuh cinta yang menyakitkan. Seperti semua ketidakmungkinan, kamu adalah salah satunya. Kamu adalah ketidakmungkinan yang selalu aku semogakan. Denganmu terasa bahagia adalah kalimat fakta yang terasa sangat fiktif. Ketiga , adalah kamu yang aku ingin jadi yang terakhir. Aku tak ingin menyukai yang lain, kamu sudah terlalu ideal. Cukup membuatku tak ingin berpaling. Seperti itulah, move on adalah kata yang punya arti bagiku, tapi selalu jadi tak bermakna saat bersamamu. Aku... tak mau membuka hati lagi. Layaknya pakaian yang pagi tadi kau cuci, lalu hujan tiba-tiba turun mem

Dan Ucapan Ganbatte itu pun Harus Mengucap Sayonara pada Dirinya Sendiri

Ingat pertama kali kita bertemu? Mungkin, lebih tepatnya pertama kali kita bertatap mata. Ingatkah kapan itu? Dan yakinlah kalau saat itu aku sudah tertarik denganmu. Sebelum itu aku sudah merasa kalau kamu akan mengisi setiap cerita dalam ketikan tanganku di atas keyboard . Entah kenapa, saat itu aku sedang berbicara di depan kelas. Saat pertama kita memulai jenjang pendidikan yang baru. Aku bahkan lupa apa yang aku ucapkan, tapi aku selalu ingat satu tatapan mataku terarah padamu yang duduk di pojok kelas itu. Berawal dari aku yang belum tau siapa namamu, sampai akhirnya aku tak bisa lepas darimu. Saat ini, satu tahun semenjak itu, kita sudah dekat. Bukan seperti apa yang aku inginkan, ini sudah salah jalan. Kita berteman... kita cuma teman. Aku tentu tak mau hanya sebatas "cuma", ini bukan niat awal aku membuatmu tertawa. Namun, apa yang bisa aku lakukan? Menerima? Menerima! Sebatas inilah bisanya aku, tak bisa memiliki tatapan yang selalu membuahkan rindu di ba

Move On

Terdengar seperti mudah dilakukan. Bagaimana denganmu? Apa kabar perasaanmu dengannya? Tahukah sejak awal aku sudah menantikan ketidak-ada-sisaan lagi soal rasamu itu? Move on . Pindah. Dari satu tempat ke tempat lain. Temanmu itu bilang aku mesti move on darimu yang tidak bisa move on dari mantanmu. Bagaimana mungkin aku move on kalau tinggal saja aku belum? Bagaimana mungkin aku pindah kalau membahagiakanmu saja belum pernah? Untukmu, mengapa tak mencoba sesuatu yang baru? Untukmu, mengapa tak coba kisah lain kau tulis, kemudian kau lukis? Seberat itukah menyadari aku berharap lebih? Sesulit itukah untukmu berhenti kembali? Aku bahkan tak kehilangan sajak, di kala jejak tak pernah membuatnya darimu kehilangan jarak. Aku bahkan tak berhenti berharap, walau kerap meninggalkannya bagimu berat. Aku bahkan tak pernah lelah jatuh, walau perasaanmu padanya selalu utuh. Bisakah aku minta kau untuk pindah? Bisakah? Bisakah kau lihat aku dari kacamatamu yang berbeda? Aku sudah terl

Ambiguitas Katarsis

Lama rasanya tak bersua dalam tulisan ini. Bukan karena aku sudah bahagia, hanya saja kesedihanku sudah mulai teralihkan. Aku menemukannya dalam makalah Teori Sastra, yang kemudian dijelaskan lagi oleh dosen, katarsis . Banyak definisinya, pembersihan atau penyucian, membiarkan pasien melepas unek-uneknya, dan yang paling aku ingat... pelarian. Katarsis, dalam sastra, adalah pelarian. Tentang bagaimana sebuah buku dapat mengalihkan fokus kita sejenak dari kenyataan. Persis, seperti aku yang bahagia di dekatmu, walau tau kenyataan tak pernah semenyenangkan itu. Timbul lagi ambiguitas. Kenyataan ganda yang menonjolkan satu keinginan. Terlihat melakukan ini, namun ada itu di baliknya. Sekali lagi, persis. Seperti aku yang pernah ingin berhenti di dekatmu, tapi kesepian tak mengizinkanku.Seperti itu juga, jatuh padamu adalah sakit hatiku, dan menjauhimu adalah jerat tali dileherku. Katarsis. Ambigu. Lari, tapi tetap ingin tinggal. Terkadang, bahagia itu tinggal lupakan kenyataan dan

Move in Drama

Akh . . . . Akhirnya aku sadar setelah sekian lama berharap. Hati yang terpaku untuk tak bisa pindah tak akan pernah bisa dipaksakan. Dia seperti aku. Namun, bedanya dia akan kembali dan aku tak akan bisa memiliki. Pasrah saja, upaya seperti apa pun tak akan berbuah apa-apa. Dan akhirnya, aku sadar untuk pindah secepat mungkin sebelum hati berlubang terhempas angin. Kemana? Entahlah, cuma satu tempat yang mungkin bisa membuatku melupakannya. Dia, yang baru saja datang dan membawa sebuah kebohongan yang dia bilang dia masih sendirian. Nyatanya, jarak adalah yang memisahkan mereka. Aku batal unuk pindah. Namun, tetap bertahan pun sama saja. Malah akan lebih terluka. Kita mulai drama, aku akan masuk dalam hidupmu dan mulai melupakannya. Persetan dengan dia yang masih kau panggil sayang. Jauh juga kan? Aku akan ikuti permainanmu untuk mengusir kesendirianku. Aku akan lakukan apa yang awalnya ingin aku lakukan, meski hubungan masih terus kau jalankan. Menjadi yang kedua? Bodoh. Tapi, a

Ini Cerita Gue

Aneh, saat kulihat kembali judul yang aku tulis. Di sana aku menulis gue , sedangkan di rangkaian tulisan ini aku akan menggunakan aku . Serupa, tapi tak sama. Aneh, dengan apa yang aku lalui 5 hari yang Indah itu. Sebuah perjalanan yang diberi judul Praktik Kuliah Lapangan . Padahal yang benar-benar bisa dibilang kuliah hanya satu hari saja, dan sisanya kalian tau sendiri. Apa lagi yang mau dilakukan di Malaysia, Singapura, dan Batam? Awalnya, aku menulis ini untuk membantuku membuat tugas yang diberikan dan membantuku mengingat apa yang dilakukan selama 5 hari itu. Padahal yang aku ingat hanya tertawa bersama dalam bus sepanjang perjalan, keluar malam, bahkan lebih malam dari biasanya, tidur larut setelah berbincang tidak jelas dengan yang lainnya. Tapi, sudahlah, siapa tau aku bisa mengingatkan dengan menulis ini. Malaysia Negara serumpun yang telah banyak melakukan konflik dengan Nusantara. Dengan jalanan yang membelah gunung, gedung besar yang bahkan ada di pinggiran kota, dan

Katanya, Hujan Itu....

Katanya hujan itu 1% air 99% kenangan, katanya hujan itu dingin. Namun, kenapa setiap hujan aku malah merasa hangat oleh setiap kenangan?  Bahkan terkadang panas. Katanya hujan itu adalah percikan-percikan kenangan yang jatuh bersamaan, tapi kenapa aku malah lari dari setiap guyurannya? Seperih itukah percikan yang tiba-tiba datang? Katanya hujan itu berasal dari proses penguapan air, tapi kenapa kenangan juga ikut menguap dan jatuh bersamanya? Katanya kamu suka hujan, tapi kenapa berteduh dan secangkir kopi terasa lebih menyenangkan? Semudah itukah kita untuk pindah ke kesukaan yang lain? Kembali lagi, katanya hujan itu percikan kenangan, tapi kenapa tak ada kenangan yang terasa menyenangkan saat hujan jatuh berkali-kali? Bukankah habis gelap terbitlah terang? Lalu kenapa setelah hujan, masih ada kesedihan yang terasa? Lalu, apa salahnya pergi ke perempatan jalan, menatap kosong ke atas, membiarkan semua air itu jatuh membasahi? Bukankah setiap kepedihan hanya akan membuat kita

Dan Pada Akhirnya

Padahal sudah kutahan sekuat mungkin untuk tidak lagi membahas ini, padahal sudah coba aku lupakan untuk tidak lagi mengingat apa pun lagi soal semua ini. Namun, pada akhirnya  aku gagal. Mencoba berlari padahal tetap ingin tinggal, mencoba tinggal, tapi... akh, sudahlah. Awalnya, aku pikir semua akan baik-baik saja ketika aku mencoba tidak lagi membahasnya. Namun, pada akhirnya aku tau kalau aku salah. Aku pikir akan ada yang mendukungku, membantu, atau paling tidak cuma sekadar mendengarkanku. Dan pada akhirnya aku sadar, aku salah. Kami malah seperti kehabisan bahan obrolan. Lebih banyak yang dia kenal, lebih sedikit waktu yang dia gunakan untuk sedikit saja membuat satu topik obrolan panjang seperti dulu. Dan pada akhirnya, aku tau  kalau aku... kesepian. Menjijikan membaca seorang laki-laki menulis seperti ini, tapi sudahlah. Aku akan menjadi seperti bagaimana aku, tertawa tanpa adaa hal lucu. Dan seperti inilah akhirnya aku. Tak pernah berubah. Cuma bias berharap.

Surat Singkat untuk Aku Delapan Tahun dari Sekarang

Memori lama terbuka kembali. 2015... ee... tidak, 2014. Perjalanan panjang tentang putih abu yang terasa begitu cepat. Semua cerita tentang pertemanan, percintaan, pelajaran terangkum dalam satu waktu. Dalam sebuah surat singkat untuk aku delapan tahun dari sekarang. Untuk aku yang saat ini seharusnya sudah dewasa. Apakah masih kau selesaikan masalahmu sendiri? Atau sudah ada yang menggandeng tangan menenangkanmu? Seharusnya sudah ada, jangan membuatku kecewa. Ingat ini mulai dari sekarang, karena aku pikir kau akan melupakan semua kenangan terbaikmu sejalan dengan waktu. Aku menulis ini tanggal 17 September 2016. Dengan ponsel Oppo peninggalan kakakmu, duduk di kursi cokelat di depan televisi, kedua orang tuamu menyaksikan Uttaran yang akhirnya menuju episode-episode akhir. Saat ini aku, kamu di masa lalu, adalah mahasiswa semester tiga yang terancam IPK-nya. Ingat ini lagi. Apakah saat ini kau sudah bekerja? Harusnya sudah, aku tidak pernah berniat merepotkan orang lain terus-teru

Rasa Nostalgia

Kembali ke kampung halaman membawa banyak kenangan. Dari hanya sekadar iseng lewat depan SMA yang, dahulu, tiga tahun aku habiskan waktuku, sampai mampir ke warung bakso kecil yang punya bakso telur paling enak yang pernah aku makan. Warung bakso itu sendiri hanya sebuah tempat makan bakso kecil yang luasnya hanya sekitar 5x5 meter. Cuma ada dua meja makan, satu meja ada yang punya empat kursi dan yang satunya bisa menampung 8 orang. Aku sendiri telat menyadari keberadaan tempat bakso ini, padahal tempatnya sangat dekat dengan sekolahku. Aku baru makan di tempat ini saat aku sudah berada di akhir masa SMA. Saat aku kelas tiga dan Ujian Nasional sudah mendekat. Mungkin sama seperti SMA lain, mendekati UN akan ada yang namanya jam tambahan. Jam tambahan ini dilakukan sekitar 90 menit dengan satu mata pelajaran, entah itu matematika, kimia, fisika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, atau pun Biologi. Dan sela waktu di antara jam reguler berakhir dan waktu jam tambahan dimulai ada sekitar

Gua Ngapain Aja?

Gue suka nulis dan gue pengin banget nerbitin buku. Entah kenapa gue rasa nulis adalah hal keren. Jadi penulis adalah pekerjaan keren. Saat gue SMA, yang punya hobi nulis itu sedikit banget di kelas gue. Karena itu waktu ada tugas membuat cerpen atau yang semacam itu, gue jadi semangat. Dan gue masuk kuliah. Menulis bukan cuma jadi hobi gue, tapi di sini menulis jadi hobi setiap orang. Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Seolah di- judge gue harus pinter nulis, dan emang seperti itu seharusnya. Gue jadi inget cita-cita gue; nerbitin buku, dateng ke Gramedia dan ngeliat nama gue di salah satu sampul buku di sana. Gue akhirnya ketemu dengan temen, cewek , yang sudah mewujudkan apa yang selama ini gue harapkan. Dia sudah menerbitkan sebuah novel. Fall For You. Dia juga sudah masuk di blog ini, iya kalau kalian pernah membacanya. Dia ngasih tips menulis di 20 Tips Menulis dari Penulis Novel Fall For You . Gue suka dia... maksudnya gue suka dengan apa yang sudah dia lakukan.

Bagaimana Kabar Rokok?

Selamat, apa pun warna langit di daerahmu saat ini. Akhirnya, gue ketemu bahan buat nulis. Seperti yang gue bilang sebelumnya , gue gak bakal nulis cinta-cintaan lagi. Kenapa? Kalian harus kenal dulu sama gue biar tau alasannya. Oke, beralih ke topik yang bakal gue bahas. Setelah beberapa hari gue bingung mau nulis apaan, dan gue cuma menghibur diri gue sendiri di kampus dan di kost, gue akhirnya ketemu sama topik ini. Bagaimana kabar rokok hari ini? Sebenernya ini adalah hal yang mau gue tulis di lombai esai yang mau gue ikutin, tapi karena gue pikir temanya sedikit agak melenceng (karena yang mengadakan lomba adalah Fakultas Kesehatan Masyarakat) jadi gue rasa ini bagus juga kalau gue tulis di sini. Ada wacana pemerintah untuk menaikkan harga rokok menjadi Rp 50.000 per bungkus, yang artinya rokok naik sekitar 100%. Hal ini tentu ada alasan. Setiap pemerintah mengeluarkan sebuah perencanaan pastilah ada alasan, yang gak ada alasan itu rasa suka aku ke kamu. Apaan sih. Demi meneka

Catatan Terakhir

Untuk memulainya aku ucapkan selamat tinggal. Untuk semua yang pernah aku tulis, untuk semua yang aku buat dalam bait. Aku akan berhenti menulis soal cinta, karena bagiku hal itu menjadi membosankan. Selamat membaca catatan terakhirku, selamat meninggalkan jatuh hatimu. Aku pikir akan lebih mudah mengikhlaskan saat aku tulis semua dan aku keluarkan, ternyata tidak. Aku malah makin jatuh padamu dan akhirnya jadi tidak sadar untuk tidak perlu ada status. Untuk yang pernah membaca, terimakasih pujian dan hinaan halusnya. Aku suka keduanya. Aku pikir kita semua pantas dinilai siapa saja. Terimakasih sudah merasakan apa yang aku tuliskan, terimakasih sudah menjadi yang setia dari sedikit pembaca lainnya. Untuk seluruh teman yang sudah bersedia aku tulis kisah cintanya dan yang bersedia berbagi keluh kesahnya. Aku tak akan sebaper ini tanpa cerita menarik dari kalian. Untukmu masa lalu, yang selalu aku ingat dan jadikan aku memiliki semangat. Aku pikir setelah menjadi mantan teman satu

Simpel

Muak. Sudah. Bosan. Cukup. Aku menyukaimu, kau harusnya tau itu. Kau berikan tahi itu. Aku mengharapkanmu, kau harusnya tau itu. Kau malah tambahi dengan ketidakmungkinan itu. Aku mulai sulit jauh darimu, kau harusnya tau itu. Kau malah tunjukkan penolakanmu. Kadang aku rasa aku ingin merobek senyum indahmu, agar ada alasan kau membenciku, agar ada alasan aku berlari darimu Semua jadi lebih simpel saat ini. Aku jatuh padamu, kau hancurkan aku jadi bubuk, kau paksa aku cari wanita lain yang cuma bakal jadi pelarian, dan... ah sudahlah. Muak. Cukup. Aku ingin benci kamu. Berhenti lihat aku dengan tatapan itu. Kamu malaikat lugu yang membawa pedang siap menusukku kapan saja dan menghancurkan hatiku begitu saja.

Akhirnya, Kau, pun, Sadar

Aku tak tau apa yang akan kutulis, entahlah, banyak hal yang ingin ditulis, tapi kubatalkan karena belum saatnya. Rasanya seperti perasaan ini, aku cukup geli saat menulis "perasaan". Ada saat aku ingin mengatakannya, tapi terpikir ini belum saatnya. Tunggu, ini tidak akan pernah ada saatnya. Saat kau minta perhatiannya dan dia memberikan itu, entah kenapa ada sesuatu yg menyakitkan terasa di dadamu. Seperti tertekan, enzim yang tertelan pun terasa tidak nyaman. Entah kenapa. Entah.... Kenapa? Kenapa kau memintanya saat tau kalau itu cuma akan membunuhmu perlahan? Tak bisakah sadar untuk satu hari saja? Tak bisakah berhenti berharap saat dia di dekatmu satu menit saja? Entah. Kau sudah terlalu dalam terjatuh. Terlalu tidak mungkin untuk memanjat melihat permukaan. Terlalu munafik mencari pelarian. Kenapa? Sebegitu mempesonakah dia? Kau sendiri yang akui banyak yang lebih mempesona dari dia. Lalu apa? Apa yang membuat dia sebegitu melekat dalam pikiranmu? Bangunlah!

Her Friend

Entah kenapa belakangan ini banyak pesawat yang terlihat terbang lebih rendah. Tidak terbang dengan menerobos awan seperti biasanya. Seolah menunjukkan diri bahwa aku ini ada. Seolah ingin kamu melihatnya lebih dekat lagi. Seolah menunjukkan kalau aku ada di balik setiap gulungan awan Indah yang selalu engkau perhatikan. Seperti itu juga aku. Ada, tapi tak pernah teracuhkan. Seperih itu juga aku. Nyata, tapi cuma kau anggap bercanda. Seperti pesawat yang terbang rendah. Ada sesuatu yang menuntut kepekaanmu untuk merasa. Ada suara bising yang meminta kau perhatikan lebih. Seperti itu juga aku. Berharap, tapi cuma angin lalu kau anggap. Seperih itu juga aku. Tak ingin pergi, walau hatiku berulang kali menahan pedih. Seperti pesawat dalam awan gelap. Cuma harus berjuang atau jatuh di tengah lautan. Seperti itu juga aku. Seperih itu juga aku. Tapi, aku bukan pesawat yang tak pernah menunggu. Aku tetap menunggu walau kau tolak tanpa ragu. Di saat aku yakin untuk pindah, kemanjaanmu

Fall in Lie

Menyenangkan melihat seseorang di sampingmu begitu perhatian dengan setiap apa yang kau katakan, memiliki perasaan yang sama, bergantian bertanya, "Hai, kamu lagi apa?" Sedikit perhatian yang sepertinya bisa menjadi alasan untuk melanjutkan hubungan. Namun, apakah perhatian yang dia berikan hanya diberikan kepada kamu? Tidak! Ada orang lain yang mendapat perhatian yang sama juga. Jika cinta bisa jatuh kepada siapa saja, rasa perhatian pastilah se- universal itu. Apakah jatuh cinta sejujur saat kamu berjanji akan tetap Setia kepadanya? Atau jatuh cinta hanya sebuah kata yang diucapkan setelah pendekatan itu? Sebohong itu kah? Apa alasanmu untuk setia? Dia yang selalu ada di dekatmu? Dia yang saat ini ada hubungan dengamu? Bagaimana dengan mereka yang setia pada seseorang yang ada di dekatnya, tapi tanpa ada hubungan? Atau lebih parah, bagaimana dengan mereka yang setia pada seseorang yang punya perasaan yang sama pun tidak? Apakah cinta memang harus setidak-memiliki itu? Apa

Aku Ketemu Orang Lain

Adalah sebuah judul yang terdapat dalam salah satu bab di buku Koala Kumal, (oh iya, aku juga sedang melakukan Give Away buku Koala Kumal Bertanda tangan ). Entah kenapa judul ini terasa sangat pas dengan apa yang ingin aku tulis. Mungkin isi apa yang aku tulis di bawah ini akan berbeda dengan isi dalam bab di Koala Kumal itu sendiri. Bagaimanapun aku bukan Raditya Dika, kisah Cinta kamu berbeda. Seperti perbedaan yang terjadi antara aku dan si dia, perbedaan dalam perasaan kampret yang orang-orang sebut dengan Cinta. Bagaimana rasanya Cinta? Ya... Seperti lambang cinta itu sendiri; nyaman di satu sisi, tapi menusuk di sisi lain. Aku bukannya tak pernah bahagia dalam cinta, aku juga pernah merasakan nyaman, hanya saja malas membahas kenyamanan itu dalam setiap unggahanku. Kembali tentang dia, yang setahun ini memenuhi coretan plot tulisanku. Tentang dia yang selalu kutulis "dia" dan tak pernah berganti menjadi "kami". Tentang dia yang membuat move on berdefinisika

Dan di sinilah Kita

Saat dewasa cinta adalah hal yang harusnya dianggap serius, harusnya. Tapi aku belum sedewasa itu dan kamu belum semengerti itu. Dulu saat masih berseragam khusus. Kamu sadar apa yang pernah aku rasa, dan aku mengetahui tentang apa yang kamu sadari. Saat aku dengan bodohnya tak menyatakan dan saat kamu dengan kecewanya melupakan. Sekarang di sinilah kita, sebuah jenjang baru di universitas yang sama. Hanya sedikit sekali jarak, tapi sulit sekali bergerak. Sekarang beginilah kita, sering berpapasan, tapi jarang lempar senyuman. Cuma seperti dua kendaraan yang bersimpangan jalan yang saling klakson pun tidak. Entah karena egoku atau rasa kecewamu yang dalam. Entah karena ketidakberanianku atau dirimu yang menunggu aku menyapa terlebih dahulu. Aku berharap kita yang dahulu. Saling tawa satu sama lain, saling bicara walau tak penting, saling membantu tanpa rasa canggung. Bukan seperti dua orang yang tidak saling kenal, mengingat dulu kita pernah cukup akrab. Bukan salahmu, harusnya

Give Away Buku Koala Kumal Bertanda Tangan

Gambar
Hai, selamat malam minggu bagi yang merayakan. Dan buat yang enggak merayakan, selamat kita lebih bahagia. Gak ada hubungannya sih, tapi ya udahlah ya. Oke, kali ini gue bakal bagi-bagi hadiah buat pembaca gue. Hadiahnya berupa Buku Koala Kumal Bertanda Tangan plus pin Koala Kumal. Nah, ini dilakukan dalam rangka 1 tahun berjalannya blog febrisaptowo.blogspot.com . Jadi, karena kemurahan hati gue, gue bakal membagikan buku yang gue dapet lewat Pre Order Koala Kumal tahun lalu. Syarat mengikuti give away kali ini cukup mudah. Berikut silakan disimak. 1. Share salah satu post dari blog ini bebas yang mana aja ke Facebook dan tandai facebook saya (febri saptowo) beserta 5 orang teman kalian. 2. Buat sebuah cerita yang berdasarkan pengalaman kalian,  teman,  ataupun kenalan dan screen shot lalu upload ke akun instagram kalian dan menandai akun Instagram saya (febrisaptowo) dan 5 orang teman kalian. Jangan lupa pakai #giveaway dan #introvertloverdiaries. 3. Jika cerita terlalu panjang,

20 Tips Menulis dari Penulis Novel Fall For You

Gambar
Menulis, adalah hal gue suka sejak gue SMP. Dimulai dari nulis cerita alay di Facebook sampai nulis entah apa ini di blog. Sudah banyak gue nulis cerpen, tapi gak ada satu pun yang menang lomba. Gue mikir kalau nulis bukanlah bidang gue. Tapi, entah kenapa gue gak mau lepas dari nulis. Kayak aku yang gak mau lepas dari kamu. Apaan sih. Oke, karena itu gue bertanya tentang gimana tips-tips nulis dari temen gue yang sudah pernah nerbitin novel. Judulnya Fall For You. Ada yang tau? Enggak? Ya ampun, gak pernah mampir ke toko buku kalian ya? Oke, ini dia nih buku yang udah dia terbitin. Source: twitternya Nabila Maulidiyah Udah tau kan bukunya? Belum juga? Ya, ampun. Wajar, wajar. Tapi, bagaimanapun menerbitkan buku dan memajangnya di etalase toko buku seluruh Indonesia bukanlah hal yang mudah. Kecuali kalau kalian anak Presiden atau kalian nerbitin buku kalian sendiri dan naruh di toko buku sendiri, secara diam-diam. Oleh karena itu, inilah 20 tips menulis buku ala penulis Fal