Upnormal

Upnormal


            "Sudahlah sadar saja! Lihat kenyataan!" Orang di depanku ini selalu mengatakan hal yang bertentangan dengan apa yang aku inginkan.
            "Kau tidak tau seberapa besar aku sudah jatuh kepada dia?" Aku mengatakan hal ini lagi untuk ke sekian kali. Orang di depanku ini masih saja tak mengacuhkan.
            "Dia? Apa dia juga merasakan sama seperti yang kamu rasa, hah? Tolol juga punya batas!" Dia masih saja menentang perasaanku.
            "Apa salah orang yang jatuh cinta? Apa salah orang yang tetap mencintai satu orang gadis?" Aku menaikkan nada bicaraku.
            "Apa cinta memang setidak-punya-logika ini? Apa cinta memang tidak punya mata untuk melihat?" Orang di depanku malah lebih meninggikan suaranya dariku.
***
            Aku adalah orang yang menulis sesuatu sesuai seleraku. Aku tidak pernah peduli dengan selera orang lain. Karena itu banyak sekali penolakan datang menghampirku. Ya... teman-temanku menyebutku egois, dan aku menyadari itu. Sebagaimana layaknya orang egois, aku jarang sekali mendengar dan mematuhi apa yang orang katakan. Lalu, sekarang ada seseorang yang berdiri di depanku dan menentang dengan semua rasaku? Dia seperti belum pernah mengenal aku.
***
            "Kamu memangnya tidak pernah jatuh cinta, hah? Kamu tidak tau bagaimana menyenangkannya saat orang yang kamu cintai meneleponmu untuk tidak mengatakan hal yang begitu penting? Kamu tidak tau bagaimana rasanya saat dia cuma duduk berdua dengan kamu? Cuma berdua? Kamu tidak tau bagaimana rasanya...."
            "Cukup!" Orang itu memotong omonganku dengan bentakan keras. "Kamu sadar kan, kalau saat ini dia sudah punya pacar dan dengan sepenuh hati dia perjuangkan?" Lanjutnya. Perkataan yang sungguh membuat dadaku semakin panas.
            "Memangnya kenapa? Apa salah aku berharap?" Aku mencoba melawan kata-katanya.
            "Berharap?" Ucapnya dengan tampang meremehkan. "Mau sampai kapan?" Lanjutnya dengan wajah masih meremehkan.
            "Sampai dia putus dengan pacarnya, dan aku yang akan menggantikan kenangan yang dibuat di masa lalunya." Jawabku dengan sangat percaya.
            "Hahaha...." Tawanya meledak keras, makin meremehkan. "Kapan itu bisa terjadi? Kapan? Dia itu tidak mungkin pergi dari kekasihnya. Sadar oi, tolol itu ada batas." Dia mulai membuatku naik darah.
            "Memangnya kenapa? Salah kalau aku tetap mencintai dia? Salah kalau aku akan tetap mengharapkan dia?" Aku berkata dengan tenang, mencoba tidak terbawa emosi.
***
            Nama gadis yang aku sukai itu Delia. Gadis yang sepertinya Tuhan buat untuk dicintai setiap pria. Tak perlu aku jelaskan bagaimana cantiknya, menjelaskan hal itu hanya akan membuat kalian jadi jatuh hati padanya. Menambah sainganku saja. Dia memang sudah punya pacar. Dia juga Setia dengan pacarnya. Mungkin kalau setiap pria yang sudah kenal Delia punya satu kesempatan membunuh satu orang, maka pastilah si kampret pacar Delia itu yang akan disebutkan namanya. Aku tak pernah bisa tahu, dan aku tak pernah ada kesempatan untuk tahu, kenapa si kampret itu bisa membuat Delia sesetia itu. Dukun sakti macam apa yang sudah dia kenal. Apa yang si kampret itu miliki yang kami pria lain tidak miliki? Apa ada pria seberuntung itu yang Tuhan ciptakan? Dengan tanah kualitas apa dia dibuat? Akh... Mengingat wajah kampret itu saja sudah membuat aku ingin muntah.
***
            "Mencintai? Berharap? Sampai kapan? Sampai dua hal itu memenuhi paru-parumu dan membuatmu mati kehabisan nafas?" Orang ini masih saja mengejekku. Sekuat apa nyali yang dia miliki?
            "Sudahlah, kamu tidak akan tau bagaimana rasanya orang yang sejatuh-jatuhnya jatuh dalam cinta yang secinta-cintanya cinta." Kataku dan bersiap meninggalkannya pergi.
            "Mau kemana? Mengambil ponselmu dan mengirim pesan padanya, kirim kode kalau kamu sedang kangen sama dia?" Ucapnya saat aku sudah membelakanginya. Aku abaikan apa yang dia katakan.
            "Woi, bocah sok puitis! Kau sekarang malah lari dan itu berarti secara tidak langsung kalau apa yang aku bilang itu benar kan? Dia, si Delia itu, tidak akan pernah mungkin jadian dengan kamu." Ucapanya membuat aku makin naik darah.
            "Kau tau? Berharap boleh saja, tapi kenyataan harus kau pikirkan." Apa ini? Dia coba menasihatiku? Siapa memangnya dia? Motivator?
            "Aku tidak akan membiarkanmu pergi sampai kamu sadar, dia akan tetap terus setia dengan kekasihnya." Orang ini masih saja menceramahiku.
            "Harusnya, hatimu itu...."
            "BERISIK!!!" Aku menghantamnya dengan keras. Aku tidak tahan mendengar semua ocehannya. Dia tidak seharusnya melawanku. Itu sudah kodrat.

            Sekarang dia berserakan di bawah kakiku, menjadi serpihan-serpihan yang bisa membuat siapa saja yang menginjaknya terluka. Ya... ini adalah hukuman yang harus dia terima. Cermin harusnya cuma menampilkan bayangan, bukan melawan sang pemilik bayangan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar Menghargai Perbedaan dari Transformasi Novel ke Film

Fall in Lie

Give Away Buku Koala Kumal Bertanda Tangan