Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2016

Upnormal

Upnormal             "Sudahlah sadar saja! Lihat kenyataan!" Orang di depanku ini selalu mengatakan hal yang bertentangan dengan apa yang aku inginkan.             "Kau tidak tau seberapa besar aku sudah jatuh kepada dia?" Aku mengatakan hal ini lagi untuk ke sekian kali. Orang di depanku ini masih saja tak mengacuhkan.             "Dia? Apa dia juga merasakan sama seperti yang kamu rasa, hah? Tolol juga punya batas!" Dia masih saja menentang perasaanku.             "Apa salah orang yang jatuh cinta? Apa salah orang yang tetap mencintai satu orang gadis?" Aku menaikkan nada bicaraku.             "Apa cinta memang setidak-punya-logika ini? Apa cinta memang tidak punya mata untuk melihat?" Orang di depanku malah lebih meninggikan suaranya dariku. ***             Aku adalah orang yang menulis sesuatu sesuai seleraku. Aku tidak pernah peduli dengan selera orang lain. Karena itu banyak sekali penolakan datang menghampirku

Secangkir Hujan dalam Balutan Senja itu

Pernah melihat orang yang terlalu bahagia sampai tak bisa menahan air matanya? Pernah? Tak peduli apa emosinya saat itu, air mata selalu saja jatuh dengan sendu. Pernah melihat orang yang terlalu bahagia seolah tak pernah ada kesusahan menghampirinya? Pernah? Tak peduli apa kendalanya, senyum lebar selalu bertengger di wajahnya. Pernah melihat orang yang tersenyum sendu saat senja? Pernah? Tak peduli seberapa asyik orang-orang mengambil gambar, baginya kenangan di senja lebih indah terpapar. Pernah melihat orang yang tersenyum kecil dengan mata sayu menatap hujan? Pernah? Tak peduli seberapa basah keadaanya, baginya dingin adalah rasa terindah untuk membuka ingatan manis yang tanpa sadar terlupakan. Pernah melihat orang yang benci saat hujan datang, padahal langit masih memaparkan cahayanya? Pernah? Pernah melihat jalan di sisi lain? Di sana ada yang menatap langit, tertimpa hujan. Tak peduli orang-orang berlarian. Yakinlah, mungkin itu adalah aku. Aku dan semua harapanku yan

Antologi

Bersiaplah, aku mencoba mengulangnya kembali dan menyatakan seberapa serius kalo ini. Pertama , aku tak akan berbasa-basi. Aku membencimu. Aku benci saat kamu melihat mataku terlalu lama aku benci dengan setiap sentuhan tangan saat kita berdampingan. Aku benci dengan setiap kebencian yang aku paksakan. Kedua , Aku tau aku terlalu jauh jatuh padamu. Aku tau saat melihat matamu, aku telah tersesat dalam jatuh cinta yang menyakitkan. Seperti semua ketidakmungkinan, kamu adalah salah satunya. Kamu adalah ketidakmungkinan yang selalu aku semogakan. Denganmu terasa bahagia adalah kalimat fakta yang terasa sangat fiktif. Ketiga , adalah kamu yang aku ingin jadi yang terakhir. Aku tak ingin menyukai yang lain, kamu sudah terlalu ideal. Cukup membuatku tak ingin berpaling. Seperti itulah, move on adalah kata yang punya arti bagiku, tapi selalu jadi tak bermakna saat bersamamu. Aku... tak mau membuka hati lagi. Layaknya pakaian yang pagi tadi kau cuci, lalu hujan tiba-tiba turun mem

Dan Ucapan Ganbatte itu pun Harus Mengucap Sayonara pada Dirinya Sendiri

Ingat pertama kali kita bertemu? Mungkin, lebih tepatnya pertama kali kita bertatap mata. Ingatkah kapan itu? Dan yakinlah kalau saat itu aku sudah tertarik denganmu. Sebelum itu aku sudah merasa kalau kamu akan mengisi setiap cerita dalam ketikan tanganku di atas keyboard . Entah kenapa, saat itu aku sedang berbicara di depan kelas. Saat pertama kita memulai jenjang pendidikan yang baru. Aku bahkan lupa apa yang aku ucapkan, tapi aku selalu ingat satu tatapan mataku terarah padamu yang duduk di pojok kelas itu. Berawal dari aku yang belum tau siapa namamu, sampai akhirnya aku tak bisa lepas darimu. Saat ini, satu tahun semenjak itu, kita sudah dekat. Bukan seperti apa yang aku inginkan, ini sudah salah jalan. Kita berteman... kita cuma teman. Aku tentu tak mau hanya sebatas "cuma", ini bukan niat awal aku membuatmu tertawa. Namun, apa yang bisa aku lakukan? Menerima? Menerima! Sebatas inilah bisanya aku, tak bisa memiliki tatapan yang selalu membuahkan rindu di ba