Dan Ucapan Ganbatte itu pun Harus Mengucap Sayonara pada Dirinya Sendiri

Ingat pertama kali kita bertemu? Mungkin, lebih tepatnya pertama kali kita bertatap mata. Ingatkah kapan itu? Dan yakinlah kalau saat itu aku sudah tertarik denganmu.

Sebelum itu aku sudah merasa kalau kamu akan mengisi setiap cerita dalam ketikan tanganku di atas keyboard. Entah kenapa, saat itu aku sedang berbicara di depan kelas. Saat pertama kita memulai jenjang pendidikan yang baru. Aku bahkan lupa apa yang aku ucapkan, tapi aku selalu ingat satu tatapan mataku terarah padamu yang duduk di pojok kelas itu. Berawal dari aku yang belum tau siapa namamu, sampai akhirnya aku tak bisa lepas darimu.

Saat ini, satu tahun semenjak itu, kita sudah dekat. Bukan seperti apa yang aku inginkan, ini sudah salah jalan. Kita berteman... kita cuma teman.

Aku tentu tak mau hanya sebatas "cuma", ini bukan niat awal aku membuatmu tertawa. Namun, apa yang bisa aku lakukan? Menerima? Menerima! Sebatas inilah bisanya aku, tak bisa memiliki tatapan yang selalu membuahkan rindu di balik kacamata itu. Aku tak bisa memiliki sentuhan lembut tiap jemari diiringi telapak tangan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya itu. Dan aku... entah kenapa yang sudah tau kenyataan, tetap tak bisa untuk melupakan. Melupakan rasamu yang padaku tak bisa terpaku.

Saat itu, kau bawa pacarmu ke hadapanku. Seseorang yang katanya membuat move on cuma jadi kata tak bermakna bagimu. Putus, balikan, lalu putus lagi. Dan katanya kalian mau balikan lagi? Hahaha, bohong kan? Dan sekarang, kau jadi tertarik dengan yang pakai kacamata? Oh, tolonglah, aku benar-benar tidak bisa melihatnya lagi. Seolah memang kau memberiku keyakinan kalau kamu tidak mau aku mendampingimu. Aku tidak pernah pantas.

Kamu tau aku mencintaimu. Dan kamu tidak pernah melarangku. Kamu cuma tunjukkan kalau aku juga tidak boleh melarangmu menolakku. Kita berada di satu garis linear yang membuatku berada di ujung. Menuju kamu yang ada di pusat saat kamu menuju yang lain yang terlebih dulu sudah dekat. Dia yang lebih banyak waktu untukmu, dia yang selalu ada untukmu, dia yang segala-galanya dan akhirnya cocok bersanding denganmu. Sadarlah, aku tak akan pernah bisa menerima. Dan kamu tidak berhak melarangku.

Hari kosong empat hari beruntut, dan kamu pulang lebih cepat di hari terakhir itu. Aku tidak ingin. Tidak pernah ingin kehilanganmu dalam empat hari itu. Bukannya tidak bisa menahanmu dan bilang, "Tolong jangan pulang dulu." Nyatanya aku, sekali lagi, tidak berhak menahanmu. Aku selalu tidak senang saat hari sudah terlalu cepat untuk selesai. Bukan soal aku akan kemana setelah itu, hanya saja aku ingin lebih lama di sebelahmu. Rasanya hariku terasa sia-sia saat setengah hariku bukan bersamamu. Entah kenapa aku sudah terlalu nyaman di dekatmu. Hanya di sebelahmu dan melihat mata didampingi senyum itu saja aku sudah bisa mengatakan aishiteru bukan cuma suki desu.

Saat ini, aku sudah berpikir untuk selalu menunjukkan kalau aku terlalu suka sama kamu. Sudah ingin memberikan semangat pada setiap kegiatanmu. Namun, bukankah itu hanya akan menambah harapku saja? Padahal tau kau tidak pernah mau. Haruskah aku bilang? Atau selamat tinggal yang malah aku katakan pada ucapan semangat ini? Sudahlah, pikirkan nanti. Bagaimana pun, aku adalah ketidakberhakanmu melarang.

Akhirnya aku berani menulis ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar Menghargai Perbedaan dari Transformasi Novel ke Film

Jika Finding Nemo ada Sekuel Ketiga, Apa Judulnya?

Padahal Aku Mau Berhenti