Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2016

Mengancurkan Indonesia itu Mudah

2016, menjadi tahun yang membuat SARA menjadi begitu terkenal. Dari sini kita bicara serius dulu, tetep santai, hindari panas. Seorang gubernur dilaporkan karena menistakan agama, hiasan Natal di sebuah hotel berlafadz Allah seolah diinjak-injak, boikot sana-sini, tokoh FPI dilaporkan karena dugaan penistaan agama, uang baru muncul, kenapa tokoh ini tidak berhijab? Kenapa kebanyakan tokoh di uang baru kebanyakan non-muslim? Setiap orang berhak menjadi presiden, bukan begitu? Lalu, coba kita ambil satu tokoh besar di Papua yang non-muslim untuk menjadi presiden, sebesar apa rasis yang bertebaran? Dulu WNI keturunan Tionghoa bahkan dibuli habis-habisan. Ernest Prakasa bahkan menikahi pribumi agar anaknya tidak bernasib seperti dia. Ini Indonesia? Seorang pengguna Twitter bercuit tentang pahlawan yang berada di pecahan Rupiah baru. Seorang pahlawan asal Tanah Mutiara Hitam. Berkomentar mengejek, kenapa harus dia? Siapa memangnya dia? Non-muslim banyak di pecahan rupiah baru? Konspir

Cerpen: Stasiun Kereta dan Kita

Stasiun Kereta dan Kita 02 Oktober, aku menghabiskan waktku di stasiun kereta api Kertapati, Palembang. Seperti bisanya, aku duduk di deretan bangku memanjang yang memang disiapkan untuk para penumpang yang sedang menunggu jam keberangkatan kereta atau menunggu teman, keluarga, pasangan atau siapa pun turun dari kereta. Seperti aku yang saat ini sedang menunggumu. Stasiun kereta jadi semacam tempat berisi banyak kenangan bagiku, mungkin seperti bandara bagi orang-orang kota yang meninggalkan keluarganya. Banyak sekali kenangan, dan entah kenapa setiap kenangan yang menurutku menarik dari stasiun kereta ini selalu menyelipkan namamu di dalamnya. Seperti awal pertemuan kita, kau datang bersama sepupuku. Ya, kalian berdua adalah teman dekat. Kau dan sepupuku baru saja lulus SMA, dan kalian akan ikut daftar ulang di salah satu universitas negeri terbesar di Sumatera Selatan. Universitas tempatku berkuliah. Awalnya, aku hanya dimintai oleh tanteku, ibu dari sepupuku, untuk menema

Imaji Pura-Pura

Kali ini hujan terasa turun dengan malu-malu. Seperti ingin jatuh, tapi berkata, "Tunggu dulu." Berbeda dengan malam yang datang dengan tiba-tiba. Berkata lantang, "Aku sudah saatnya." Seperti perpaduan antara keduanya, hujan menciptakan malam yang lebih dingin dari biasanya. Kalau saja kau tahu, aku ingin mencairkan dingin itu. Tapi, logo centang dan warna hijau itu menghalangi. Buatku terus berpikir untuk berpura-pura. Berpura-pura dengan kata yang berupa-rupa tak akan bisa membuatku lupa-lupa. Lupa-lupa akan perasaan yang meluap-luap bagai air hangat yang beruap-uap. Beruap-uap dalam harap-harap yang aku pegang erat-erat. Aku angkat bicara dalam kepura-puraanku agar aku ingat untuk lupa kalau aku berpura-pura. Karena perasaan hanya untuk satu hati, tak mungkin menjadikannya dua hati. Karena dua hati berarti hati-hati. Hati-hati untuk tetap melangkah tertatih-tatih. Tertatih-tatih dalam menjalani hari-hari penuh hati-hati. Untuk bisa lupa, aku pura-pura b

Titik Dua Tutup Kurung

Belakangan ini aku baru menyadari, cuaca sedang mengalami pubertas. Pubertas yang dia alami tiap tahun. Terkadang panas, tapi tiba-tiba hujan. Entah apa maunya. Seperti kebanyakan manusia dalam masa pubertas... labil. Masa itu harusnya sudah lewat, masa itu harusnya terjadi saat aku akhirnya mendapatkan orang yang pernah mau mencoba menerimaku, dulu. Ini bukan soal pubertas, labil? Mungkin. Seperti selama ini, saat aku ingin mencintaimu dengan sederhana. Seperti semua deret dalam sajak Tuan Sapardi. Entah sekokoh kayu yang tak berkutik di depan api, entah semelankolis awan yang rela hilang demi hujan. Namun, seperti itulah aku. Mencoba kokoh, tapi tak tau kalau memang sudah roboh. Harapan itu seperti api pada hujan, seperti panas pada besi, seperti syair yang kehilangan aksara. Mengajakmu adalah kesalahan besar bagiku. Cermin tak terlalu mampu sadarkan diriku. Saat aku berharap ada satu saja pesan basa-basi darimu, aku harusnya tau siapa memangnya aku? Bukan siapa-siapa, bukan apa