Cerpen: Stasiun Kereta dan Kita
Stasiun Kereta dan Kita
02 Oktober, aku menghabiskan waktku di stasiun kereta api Kertapati, Palembang. Seperti bisanya, aku duduk di deretan bangku memanjang yang memang disiapkan untuk para penumpang yang sedang menunggu jam keberangkatan kereta atau menunggu teman, keluarga, pasangan atau siapa pun turun dari kereta. Seperti aku yang saat ini sedang menunggumu. Stasiun kereta jadi semacam tempat berisi banyak kenangan bagiku, mungkin seperti bandara bagi orang-orang kota yang meninggalkan keluarganya. Banyak sekali kenangan, dan entah kenapa setiap kenangan yang menurutku menarik dari stasiun kereta ini selalu menyelipkan namamu di dalamnya.
Seperti awal pertemuan kita, kau datang bersama sepupuku. Ya, kalian berdua adalah teman dekat. Kau dan sepupuku baru saja lulus SMA, dan kalian akan ikut daftar ulang di salah satu universitas negeri terbesar di Sumatera Selatan. Universitas tempatku berkuliah. Awalnya, aku hanya dimintai oleh tanteku, ibu dari sepupuku, untuk menemaninya mendaftar ulang. Namun, ternyata sepupuku itu turut juga membawamu. Kita mulai berkenalan saat itu, aku ingat sekali kamu menjabat tanganku dengan canggung. Saling menyebut nama satu sama lain dan kita bertiga beranjak pulang ke rumahku di kawasan Plaju. Kamu dan sepupuku diajak menginap oleh ibuku selama seminggu untuk daftar ulang sebelum kamu dan sepupuku pindah untuk kost bersama di kawasan Bukit Besar agar lebih mudah menuju kampus.
Kisah percintaan kita sebenarnya sederhana saja. Aku menembakmu yang masih berstatus sebagai mahasiswa baru saat itu, kita sering keluar saat tidak ada kuliah, bertengkar sebagaimana layakya orang berpacaran, dan semua kebersamaan itu semakin membuat aku nyaman berada di dekatmu. Rasanya libur semester yang dua bulan ini, karena bersamaan dengan bulan puasa, membuat rindu adalah kata-kata yang selalu aku ucapkan tiap hari. Ya, kau harus pulang ke kampung halamanmu di Baturaja, itu sekitar 5 jam dari Palembang. Tapi, aku sadar untuk tidak selalu bilang, “Aku rindu kamu.” Di setiap telepon kita. Kata itu malah akan membuatmu memikirkanku bukan? Harusnya kau bisa dengan bahagia menghabiskan waktu libur di kampung halamanmu. Aku hanya mengatakan aku juga, saat kamu dengan suara lembut yang sangat ingin selalu aku dengar mengucap, “Aku kangen….”
Hampir tiap malam kita menghabiskan waktu selama liburan untuk berbicara. Di ujung telepon yang kita pegang, dengan telepon yang mulai panas, tapi tidak aku pedulikan. Menurutku mendengar ceritamu tentang apa yang kamu lakukan seharian itu adalah hal yang membuatku lupa sudah seberapa malam saat ini.
“Aku habis dari taman kota sore tadi, bareng anaknya kakak aku.” Katamu mulai bercerita.
“Yang baru satu tahun itu?” Tanyaku, anak kakakmu yang pernah kamu ceritakan sebelumnya memang baru berusia satu tahun.
“Iya, yang itu. Tau gak? Kan di sana ada tempat kolam bola kayak gitu, aku taruh dia di situ, terus aku tontonin sambil minum es kelapa.” Kamu lanjut bercerita.
“Kamu tontonin aja? Gak kamu ajak main gitu?” Aku bertanya.
“Enggak, aku capek, hahaha….” Jawabmu lalu tertawa. Suara tawa yang, sungguh, ingin aku simpan dan putar setiap saat.
Kembali ke saat ini. Aku menunggu kedatanganmu di stasiun ini. Sebelum kamu pulang sekitar dua bulan yag lalu, kita sempat makan nasi bungkus dulu di sini. Ngobrol panjang sebelum keretamu berangkat. Nasi ayam panggang yang kamu pesan dan nasi telur goreng milikku menemani kita.
“Tumben nasi telur?” Tanyamu. Kamu sepertinya sudah hafal kalau biasanya aku memesan nasi ayam atau nasi ikan setiap kita makan berdua.
“Nasi telur di stasiun ini enak. Telur gorengnya terasa buatan rumah, bukan cuma digoreng buat dijual gitu aja.” Jawabku.
“Gila, kakak kayak juri master chef, ya nilai masakan orang kayak gitu.” Ucapmu dengan sedikit senyum.
Kamu tetap memanggilku “kakak” walau kita sudah berpacaran. Kamu bilang itu panggilan sayang. Aku tak begitu mempermasalahkan itu, aku tahu kita punya rasa yang sama apapun panggilan sayang kita.
“Itu nilai tambah sebuah masakan, loh.” Kataku, lalu tertawa sedikit.
“Kayak kamu bisa masak gitu, oh iya, aku jadi inget sama tempat kita beli nasi goreng yang di deket kampus itu.”
“Yang di sampingnya ada konter pulsa yang jualan oli?”
“Hahaha, iya yang itu.”
“Kenapa emangnya?”
“Lupa? Kamu waktu suapan pertama langsung bilang apa ke aku?” Kamu mendekatkan wajahmu kepadaku.
“Oh iya, aku bilang, ‘gila, kayak buatan emak, nih,’ iya kan?” Jawabku.
“Iya, terus besoknya aku bikinin kamu nasi goreng.”
“Dan rasanya asin banget.”
“Tapi, tetep aja kamu abisin kan?”
“Soalnya itu kamu yang buat.”
Tiba-tiba kamu terdiam, ada senyum malu terukir dari bibirmu. Aku ingin sekali menyimpannya. Sungguh.
“Dua bulan ya….” Ucapmu tiba-tiba dengan raut sedih.
“Gak apa kok, cepet pasti lewatnya dua bulan.” Aku coba menenangkan.
“Kamu gak mau gitu ikut ke Baturaja?” Ucapmu dengan sedikit merengut.
“Ya, gak bisa lah, sayang, aku kan mau ambil semester pendek.” Kataku, sepertinya itu bukan jawaban yang ingin kamu dengar.
“Kita kan masih bisa teleponan, video call juga bisa.” Aku coba untuk menenangkanmu.
Sampai akhirnya keretamu berangkat, kamu belum juga tersenyum lebar. Cuma ada senyum kecil dan lambaian tangan yang kamu berikan sesaat sebelum kamu pergi.
Akh… aku sudah tidak sabar bertemu denganmu lagi. Aku melihat jam dinding yang berada di dekat televise yang dipasang untuk membunuh bosan para calon penumpang yang sedang menunggu kereta. Harusnya keretamu sudah tiba satu jam yang lalu. Ah, mungkin telat. Memang biasa terjadi.
“Sudah berapa lama dia di sana?” Seorang petugas stasiun melihat ke arahku sambil bertanya ke satpam. Mungkin aku menunggumu terlalu lama, tapi ini stasiun kan? Tidak masalah menunggu seberapa lama pun.
“Sekitar satu bulan ini, Pak.” Jawab satpam itu.
“Satu bulan? Enggak coba diusir?”
“Sudah saya usir berkali-kali pak, tapi tetep balik lagi ke sini.”
“Mau ngapain dia?”
Kenapa petugas stasiun dan satpam itu makin melihatku dengan tatapan tidak menyenangkan?
“Saya sudah tanya, katanya dia nunggu pacarnya yang dari Baturaja, Pak.”
“Dari Baturaja? Satu bulan lalu kan ada kecelakaan kereta api itu?”
“Iya yang itu, Pak.”
Apa? Mereka bicara soal kecelakaan kereta itu lagi? Oh iya, satpam itu pernah bilang soal kecelakaan kereta itu padaku. Dia menyuruhku untuk memeriksa nama korban kecelakaan kereta itu, katanya semua korban sudah ditemukan. Namun, tidak ada nama kamu di sana.
“Kamu sudah kasih nama korbannya?”
“Sudah, Pak. Dia sudah cek sendiri, tapi waktu saya suruh cek di daftar nama korban meninggal dia malah marah ke saya, Pak. Akhirnya, saya tanya nama lengkap pacarnya itu.”
“Terus?”
“Nama pacarnya ada di daftar korban meninggalk, Pak. Sudah saya kasih lihat, dia malah makin ngebentak saya.”
“Hmm… kasihan, ya?”
“Iya, Pak.”
“Padahal masih muda dia.”
Komentar
Posting Komentar