Rasa Nostalgia

Kembali ke kampung halaman membawa banyak kenangan. Dari hanya sekadar iseng lewat depan SMA yang, dahulu, tiga tahun aku habiskan waktuku, sampai mampir ke warung bakso kecil yang punya bakso telur paling enak yang pernah aku makan.

Warung bakso itu sendiri hanya sebuah tempat makan bakso kecil yang luasnya hanya sekitar 5x5 meter. Cuma ada dua meja makan, satu meja ada yang punya empat kursi dan yang satunya bisa menampung 8 orang. Aku sendiri telat menyadari keberadaan tempat bakso ini, padahal tempatnya sangat dekat dengan sekolahku. Aku baru makan di tempat ini saat aku sudah berada di akhir masa SMA. Saat aku kelas tiga dan Ujian Nasional sudah mendekat.

Mungkin sama seperti SMA lain, mendekati UN akan ada yang namanya jam tambahan. Jam tambahan ini dilakukan sekitar 90 menit dengan satu mata pelajaran, entah itu matematika, kimia, fisika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, atau pun Biologi. Dan sela waktu di antara jam reguler berakhir dan waktu jam tambahan dimulai ada sekitar 1 jam. Lebih dari cukup untuk sekadar istirahat, ibadah, dan makan.

Awalnya aku diajak temanku ke tempat mereka biasa kumpul setelah jam sekolah usai. Aku hanya mengiyakan. Mereka menyebut tempat kumpul mereka itu dengan konter. Iya, tempat itu adalah sebuah warung yang sekaligus menjual pulsa. Tepat di sebelah warung itu, warung bakso yang tadi aku ceritakan berdiri. Tertulis dengan spanduk panjang, "Bakso Mas Radit". Penjualnya masih muda, mungkin dia yang namanya Radit, tapi aku tak tahu, teman-temanku hanya memanggilnya mas. Bakso di sana selalu panas, seperti semua bakso di semua tempat. Di awal Mas selalu menawarkan, "Pake telur, enggak?" Dengan logat Jawa yang mulai tertutup cara bicara khas orang Sumatera.

Aku selalu pesan bakso telur, bahkan terkadang saat masnya bilang kalau telurnya belum selesai direbus, aku akan menunggu telur itu. Berbeda dengan semua bakso telur yang pernah aku makan, telur di tempat Mas Radit ini sangat lembut dan seolah pas dengan kuah panas baksonya. Aku selalu memakan kuning telur di akhir, saat kuning telurnya masih bulat aku lalu membelahnya menjadi dua. Dan potongan-potongan kecil yang terpisah dari dua potongan besar yang menyatu dengan kuah bakso itulah yang lebih dulu aku makan. Kuseruput dengan kuah panas yang sudah aku tambah banyak sambal. Rasanya tak pernah lagi aku merasakan itu, walau di kampusku juga ada yang menjual bakso telur, aku tetap merasa bakso telur milik Mas Radit adalah pemenang.

Namun, baru saja aku ke sana lagi, bakso telur di sana sudah berubah. Entah kenapa rasanya berbeda. Apakah ada perubahan bumbu atau suasana makannya yang berbeda? Yang mana dulu aku selalu makan di sana dengan temanku, sedangkan sekarang aku memakannya sendiri. Entahlah, yang pasti aku jadi membandingkannya dengan bakso telur di kampusku. Rasanya tidak jauh berbeda. Padahal, dulu aku pernah berpikir untuk membawa seseorang yang aku anggap istimewa untuk makan di sana. Namun, sekarang, aku pikir, tak perlu aku bawa dia jauh-jauh ke daerahku untuk makan bakso ini. Kampus kami punya bakso telur yang punya rasa yang sama.

Saat berjalan pulang, aku berpikir untuk memilih jalan memutar. Aku melewati depan SDN 49 OKU. SD-ku. Dulu, setahun sebelum aku masuk, namanya masih SD 16 OKU. Saat aku masuk namanya berubah menjadi SDN 46 OKU dan saat aku kelas 4, namanya berubah lagi menjadi SDN 49 OKU. Hingga sekarang. Bukan masalah namanya yang penting, tapi sebuah pondok kecil yang dulu adalah tempatku sarapan. Sebuah lapak kecil yang menjual somai. Aku ingat bagaimana aku datang pagi sekali hanya untuk makan di sana. Rp 1.000-, sudah mengenyangkan. Sungguh itu adalah patokanku untuk menilai rasa sebuah somai sampai sekarang.

Sekitar 7 tahun berlalu semenjak saat itu, aku diajak untuk makan somai di terminal di kampusku. Aku ikut mereka, walau saat itu aku meragukan rasanya. Satu porsi aku beli. Aku aduk bumbu dengan potongan-potongan somai. Aku ambil satu sendok untuk mencicipi, aku tiba-tiba terdiam sebentar. "Gila, ini mirip dengan yang aku beli waktu SD." Seruku dalam hati. Entah kenapa hanya satu suap saja bisa membuat semua kenanganku saat datang pagi-pagi ke sekolah dan mengantri dengan ibu-ibu yang ingin membelikan sarapan untuk anaknya, muncul. Aku bilang ke temanku tentang ini, dan obrolan kami berujung pada obrolan tentang jajanan masa kecil yang sering kami beli. Yang sekarang sudah jarang kami jumpai lagi.

Entah kenapa waktu bisa menggodaku untuk menulis ini. Tentang waktu yang membuat bakso di tempat yang sama bisa memiliki rasa yang berbeda, tentang waktu yang membuat somai di tempat yang berbeda memiliki rasa yang sama. Aku rasa seperti itulah waktu, membuat tempat yang sama menjadi seolah berbeda, tapi di tempat yang berbeda bisa membuat kita merasa sudah kenal lama. Namun, siapa peduli? Kita cuma melewatinya dan tidak menaruh perhatian lebih. Untuk peka pun butuh niat yang dalam.

Terkadang, aku ingin memutar balik waktu. Namun, aku sadar itu tak akan mungkin. Mungkin, aku cuma perlu berganti ke tempat lain untuk merasakan rasa yang sama seperti waktu yang sudah lama aku tinggalkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar Menghargai Perbedaan dari Transformasi Novel ke Film

Jika Finding Nemo ada Sekuel Ketiga, Apa Judulnya?

Kimi No Iru Machi, A Town Where You Live