Tentang Hujan yang Tak Lagi Spesial
Bisakah aku menulis lagi sekarang? Tepatkah waktunya? Tentang sebuah hujan yang terlalu sering turun membasahi setiap jengkal tanah kering yang menjadikannya basah, tentang hujan yang dipandangi untuk mengusir kesepian, tentang rasa yang entah apa lagi deskripsinya.
Entah telah berapa lama hujan datang tanpa aku suruh. Entah sudah seberapa basah aku di tengah rintik yang mengguyur. Entah seberapa betah kau berteduh di bawah hangatnya si payung ungu.
Aku terus saja berdiri, membiarkan rintik demi rintik jatuh membasahi. Aku bahkan lupa bagaimana rasanya kering. Aku tak tahu lagi aku sudah basah atau mulai kering. Persetan dengan aku, kau pandangi hujan tanpa tahu benarkah hujan sedang turun. Persetan dengan waktu, kau masih berteduh di bawah payung ungu bersenyum lucu itu.
Tidak lucu! Cuma kau yang bilang itu lucu. Basah kuyup tidak pernah lucu. Memangnya dengan hujan ini kau pernah sekali saja acuh?
Aku melihat tanganmu mengulur menadah hujan. Kau lihat bibirku tersenyum? Aku lihat warna ungu payungmu mulai pudar. Kau dekati hujan, kau lihat aku sedikit kegirangan? Aku lihat tanganmu kembali menjauhi hujan, aku heran. Kau cuma tersenyum menatap payung ungumu. Warnanya kembali padu.
Aku ingin berkata kasar. Kau dekati hujan saat kau merasa kesepian? Tahu perasaan hujan? Jatuh setiap hari, dibenci, disuruh berhenti, diusir, dibilang, "Kenapa sih ini? Aku mau bertani, pergi cari persinggahan lain!"
Memangnya bagimu mudah memindahkan hujan ini? Aku sudah lama kedinginan, dan bebani aku lagi dengan minta pindahkan hujan ini? Memangnya semudah itu?
Aku mengambil ponselku, mencoba kirim pesan padamu, letakkan payung itu berdirilah denganku di tengah hujan. Tapi, petir tidak memberi restu dan kau pun tidak mau.
Aku berjalan mendekatimu yang sedang tersenyum dengan payung ungu itu. Tapi, tanah sudah jadi lumpur, dan kau pun perlahan mundur.
Kau kembali ulurkan tanganmu menadah hujan. Aku tersenyum. Warna payungmu pudar. Aku sadar, kau tak sesuka itu dengan hujan. Kau hanya kesepian. Tapi, tetap saja dalam hatiku banyak teriakan.
Entah menyuruh menikmati hujan yang mulai membuat bajuku basah atau meninggalkannya dan membenci rasa hujan.
Menurutmu bagaimana? Mana yang enak kupilih? Ah, percuma, kau tidak pernah mau mendengar.
Tapi, kalau tidak lagi hujan, apa payung itu tak lagi kau gunakan? Benar, hentikan saja hujan dan kau tidak akan lagi gunakan payungmu itu. Dia akan kau simpan, di dalam rumah, jaga rapat-rapat kalau saja nanti hujan turun lagi.
Hahahahahahaha.
Malah makin bahagia payung itu, dan kau pun begitu.
Jadi, bagaimana? Mana yang baik untukku?
Iya, benar! Deraskan lagi hujannya, berlari ke arahmu teriak seperti orang gila, ambil payungnya, patahkan, robek, dan kau menangis sejadi-jadinya.
Akhirnya kau membenciku dan hujanku. Payung itu sudah mati dan dirimu tidak akan pernah ada yang memiliki.
Komentar
Posting Komentar