Cerpen ini Pernah dimuat di Sumatera Ekspres pada Minggu, 6 Januari 2019
Baru saja aku bakar buku seni budayaku, dari buku catatan, latihan, sampai buku cetak. Semua yang aku pelajari dari sana tidak berarti apa-apa. Tadi, guru dan teman-temanku habis menertawaiku, padahal aku sudah belajar dengan sungguh. Mereka seolah tak mau menerima alasanku. “Alah, cuma alasan,” teriak temanku entah yang mana. Iya, memang itu alasan, apa yang salah? Alasan kan berarti sesuatu yang menjadi pendorong bagi kita untuk melakukan sesuatu, bukan alibi tidak benar untuk menghindar dari sebuah permasalahan.
Namun, aku akhirnya tahu siapa yang menjadi sebab aku sampai ditertawai seperti itu, guru Seni dan Budaya di SMA-ku yang dulu. Sebelum aku pindah ke sini. Aku berasal dari Baturaja, itu sekitar 5 jam perjalanan menggunakan mobil dari Palembang. Sekarang aku pindah ke desa yang lebih kecil dari tempat asalku. Namanya agak sulit kueja dan kuingat, entahlah kata-katanya tidak pernah aku dengar sebelum ini. Daripada mengingat nama desa ini aku lebih memilih mengingat guru SMA-ku itu, aku hafal betul bagaimana cara dia mengajar.
Dia mengajar di kelasku setiap hari Kamis, di jam pelajaran ketiga dan empat, tepat sebelum istirahat. Dia adalah guru paling muda di sekolahku, namanya Sabran, kami panggil dengan Pak Sab. Sebagaimana anak muda, dia selalu mengajar dengan santai, tidak terlalu serius, tapi kami semua suka. Saat praktik membuat arsiran, dia mempraktikkan langsung di papan tulis dengan spidol. Arsirannya luar biasa, walau hanya gradasi warna dari hitam menuju putih, tapi arsiran itu tidak terlihat secara jelas pemisah antar hitam dan putih. Semua sangat rata, seperti gradasi pada kostum tandang Barcelona yang berpola gradasi kuning dan jingga. Semenjak itu, aku jadi menyukainya dan berpikir kalau tidak salah orang ini menjadi guru.
Selain itu, hampir di setiap pelajaran, dia membawa benda-benda yang akan diajarkan. Dari batik, seni 3 dimensi, lukisan, dan beberapa yang lain. Mungkin kalau aku main ke rumahnya aku akan tersesat di antara tatapan-tatapan dingin patung, interpretasi-interpretasi lukisan, dan balutan-balutan kain 3x2 meter. Bisa jadi aku akan sengaja hanyut dalam ukiran-ukiran, bau cat dalam kaleng-kaleng kecil, dan motif-motif goresan tangan. Dia adalah guru paling niat.
Aku paling ingat dengan kata-katanya yang membuatku makin menantikan jam pelajaranya, “Kalian tidak perlu pandai mengarsir, sebab tidak semua di antara kalian akan bekerja dengan kelembutan tangan,” ucapnya sambil menyeruput kopi hitam yang dibawanya sendiri. Walau dia bilang begitu, Pak Sab mengajari kami mengarsir selama 3 pertemuan agar kami lebih bisa.
“Kalian ini ngarsir pakai pensil atau penghapus, sih?” Ucapnya saat aku sedang asyik berpikir bagaimana agar gradasi ini rapi. “Teruskan saja dulu, jangan terlalu cepat ragu, dan mengotori kertas dengan daki-daki penghapus itu,” lanjutnya. Aku melihat kertas gambarku, benar, ini kotor. Aku menggantinya dengan yang lain agar lebih bersih dan lebih rapi.
Sampai pada suatu waktu Pak Sabran tidak lagi menyuruh kami menggores pensil dan menghapus daki. Dia menyuruh kami membuka buku paket yang lama berhibernasi di lemari gelapku. “Baca lagi buku kalian, minggu depan kita akan membahas kesenian dan budaya yang tidak kita pelajari sebelumnya,” ucapnya dan meninggalkan kelas. Kami menyusul bersiap cari makanan. Sebab terlalu suka dengan caranya mengajar, aku langsung membuka buku paket itu. Membaca tiap baris katanya yang terlalu formal, mengamati gambar hitam putihnya yang terlalu samar, berbicara sendiri seolah baru saja mengerti jawaban dari pertanyaan yang berpendar di gumaman.
Di hari yang dijanjikan, aku sudah merasa sangat yakin untuk memahami semua materi yang akan diberikan oleh Pak Sabran. Benar saja, apa yang dikatakannya sudah aku baca di dalam buku dan apa yang dipertanyakannya aku jawab dengan mudah. Dari pertanyaan tentang tari, seni rupa, drama, kain-kain daerah, semuanya aku jawab. Ada sih, beberapa yang tidak aku jawab, tapi itu pun sengaja agar yang lain saja yang menjawab.
Semua materi itu dikatakan Pak Sabran sebagai acuan untuk ulangan tengah semester yang akan dilakukan beberapa minggu lagi. Dia ingin kami mempersiapkan dari jauh hari, sebab banyak mata pelajaran lain yang butuh pemahaman lebih yang perlu kami pelajari. Namun, jika soal ulangan seperti apa yang dijelaskan Pak Sabran tadi, sepertinya semua akan mudah bagiku.
Seperti semua kata-kata klise yang terjadi di setiap sekolah, “Enggak terasa ya, sudah mau UTS sebentar lagi,” ucap temanku saat kami mendapat kartu tanda peserta ujian. Aku melihat jadwal ulangan yang tertera di mading dekat ruang guru, mata pelajaran Seni Budaya diujikan di hari pertama bersama mata pelajaran Bahasa Indonesia. Sepertinya pelajaran yang dianggap mudah diletakkan sebagai pemanasan.
Aku tidak pernah sepercaya diri ini menjelang ulangan. Seperti mendapat ucapan selamat atas kemenangan Anda dalam lomba mengarsir tingkat nasional dari tukang pos, padahal aku baru saja mau mengambil pensil untuk mengarsir. Tidak ada kokok ayam yang lebih merdu dari kokok ayam pagi ini. Dia berkokok dengan nada lagu terkenal milik band Queen yang diputar setiap aku menang di final gim PES di PS2.
Aku melangkah dengan ringan, lebih ringan dari rasa percaya diri kelinci yang tidur di bawah pohon rindang. Tidak ada yang lebih menyenangkan dari membayangkan disalami oleh Pak Sabran dan dia bilang, “Selamat, kamu dapat nilai sempurna.”
Lembar jawaban dibagikan, aku menulis nama, kelas, mata pelajaran, dan nomor induk siswa dengan sedikit menggumamkan lagu Lazy Song-nya Bruno Mars. Tidak ada kaitan dengan ulangan, tapi nadanya ceria, sesuai dengan apa yang aku rasakan. Lembar soal dibagikan, aku baca satu per satu, sampai pada setengah dari keseluruhan soal, bibirku tidak bisa menahan senyum. Aku akan dapat nilai sempurna.
Unsur-unsur pendukung tari di bawah ini, kecuali… untuk menggambarkan tokoh yang sedang marah digunakan warna… tari barong berasal dari daerah… instrumen musik Papua yang terbuat dari bambu disebut….
Ya ampun, apa pembuat soal ini hanya menyalin-tempel dari buku? Kalau seperti ini aku tak perlu belajar mengarsir pun sudah tahu jawabannya. Senyumku makin lebar dan makin lebar lagi. Kalau bisa sampai pipi, mungkin sudah sampai pipi senyum ini.
Lalu, seperti yang kuduga, saat pembagian rapor aku langsung melihat mata pelajaran Seni Budayaku. Nilainya hampir sempurna. Ah, mungkin kalau boleh menulis 100 di rapor, nilaiku sudah seratus. Nilai yang tidak bikin aku terkejut, nilai yang tidak akan kusebar, sebab aku sudah tahu jauh-jauh hari sebelum ini. Kata orang, piece of cake, sepotong kue. Sudah jadi santapanku setiap hari. Mungkin kalau diindonesiakan menjadi sesuap nasi. Sudah, sudah, itu tidak penting. Aku membayangkan hal yang lebih penting, pandangan Pak Sabran setelah aku mendapatkan nilai ini. Apa yang bakal dia katakan?
Namun, sepertinya bayangan itu harus kuhapus. Sebab, sebelum Pak Sabran mengucap selamat, aku sudah harus pindah alamat. Pindah ke sekolah lain saat di tengah-tengah semester. Aku pindah ke desa yang lebih kecil dari tempat asalku, yang namanya agak sulit kueja dan kuingat. Entahlah kata-katanya tidak pernah aku dengar sebelum ini dan tertawaan satu kelas kepadaku terjadi seminggu setelah aku pindah. Guru Seni Budayaku yang baru menyuruhku ke depan, karena aku berasal dari daerah yang berbeda, dia menanyakan sebuah pertanyaan sakti yang membuatku terdiam, “Budaya apa yang terkenal di daerahmu?” Teman-teman yang lain tertawa. “Alah, cuma alasan,” teriak temanku entah yang mana. Setelah pulang aku mencari buku Seni Budayaku. Semuanya, buku latihan, catatan, dan buku paket. Aku membakarnya di belakang rumah, asap hitamnya menjunjung sampai tak terlihat membentuk gradasi paling amburadul yang pernah aku buat.
Komentar
Posting Komentar