Cerpen: Efek Layar Kaca

 



Dimuat di Palembang Ekspres edisi 16 dan 17 Juli 2018

Efek Layar kaca

Aku mendapat telepon dari teman lama yang tahu dengan masalah keuanganku. Dia bilang dia bisa membantuku, bahkan bisa membuatku masuk tipi. Tidak perlu menunggu lama untuk kepalaku mengangguk-angguk setuju, siapa yang tidak mau mendapat uang plus-plus masuk tipi.

Oleh karena itulah sekarang aku ada di sini. Sebuah stasiun televisi nasional yang namanya bukan lagi cuma besar, tapi B-E-S-A-R. Aku duduk di ruang tunggu berpendingin udara, ada pakaian-pakaian bagus di sini, ada kotak makanan dari tempat makan besar. Ada artis, ada perempuan cantik yang sesekali menengok ke ponsel berlogo apel yang dipegangnya, aku tahu itu ponsel mahal. Ada juga kru yang sedari tadi berbicara di depan kami, aku tahu dia kru televisi dari pakaian yang dia pakai. Ada logo stasiun tivi di lengan kanan dan dada kirinya.

Sepertinya acara akan dimulai, aku sudah diminta memakai sebuah mikrofon kecil. “Nanti waktu nama Mas dipanggil, langsung masuk ya.” Ucap kru TV tadi setelah aku diantarnya ke sebuah studio. Aku menganguk mengerti. Aku tidak  menyangka aku akan masuk TV.

Aku menunggu di belakang studio, menunggu namaku dipanggil. Untuk saat ini aku seperti melupakan masalah keuanganku. “Baiklah, kalau begitu kita panggil saja, ini dia Subi….” Ah, pembawa acara sudah memanggil namaku. Ini saatnya aku masuk.

Musik mengiringi langkahku masuk dalam frame. Penonton mulai bersorak, tapi sorakan itu terdengar seperti sorakan tidak suka. Memangnya apa yang sudah aku lakukan? “Jadi ini bener ya Mas Subi?” Tanya  pembawa acara. Aku menggangguk sambil tersenyum.

 “Wuuuu….” Teriakan penonton kembali terarahkan padaku.

“Oh, jadi bener ini Mas Subi, pacarnya Siti?” Tanya pembawa acara lagi, aku bahkan belum diminta duduk. “Siti?” Tanyaku bingung. “Iya Siti.” Siapa Siti? Pacarku? Aku bahkan sudah putus sejak tiga tahun lalu, lagi pula nama mantanku itu bukan Siti. Aku tidak punya pacar yang namanya Siti. “Siti yang ini lho!” Pembawa acara menunjuk seorang wanita yang sudah duduk terlebih dulu sambil mengangguk-angguk. Wanita itu wanita yang tadi duduk di sebelahku di ruang tunggu. Jadi, namanya Siti? Tapi, kami bahkan tidak ngobrol sebelumnya, bagaimana dia bisa menjadi pacarku?

Aku melihat ke depan, kru TV yang tadi di ruang tunggu memegang papan tulis putih yang ada tulisan “Siti pacar Subi.” Dia melihatku sambil menunjuk-nunjuk tulisan itu. Apa artinya aku harus menuruti tulisan itu? Tapi, dia bukan pacarku.

Penonton melihatku dengan kebingungan dan saling menatap satu sama lain. Ada beberapa yang bertanya-tanya “Kenapa ini, kenapa?” Ada juga yang terlihat sedang mencibir. Di sebelah kanan tempat duduk penonton aku baru menyadari ada tiang yang bertuliskan angka satu sampai seratus. Lampu di tiang itu menyala pada nomor lima belas.

“Iya, dia pacarku.” Ucapku setelah menyadari tatapan tidak suka kru mengarah ke arahku. Penonton kembali bersorak, lampu di tiang itu menyala ke nomor tujuh belas.

“Kamu ke mana aja selama ini? Hampir sebulan enggak ada kabar.” Ucap Siti sambil memegang tanganku. Aku bingung, kami baru pertama kali ini bertemu, kenapa dia bilang aku sebulan tidak ada kabar? “Aku enggak ke mana-mana, tiap hari ada di kontrakan.” Aku menjawab masih dengan raut bingung. “Lagian kan tadi di belakang….”

“Katanya nih, kamu gak ada kabar ke pacar kamu, dikirimi SMS gak dibales, ditelepon gak diangkat.” Pembawa acara memotong ucapanku. “Telepon? SMS? Gak ada itu.” Ucapku.

“Kamu bohong Subi, kamu gak akuin aku pacar kamu lagi? Aku tanya Mama kamu, katanya kamu sering keluar buat nemuin aku, tapi ini nyatanya gak kayak gitu.” Siti kembali mengatakan sesuatu yang tidak aku mengerti. “Kamu lagi yang udah bohong, Mama aku udah meninggal waktu aku SD, ini siapa lagi ngaku-ngaku jadi Mama aku.” Aku membantah ucapan Siti.

“Apa? Jadi, Mama kamu udah meninggal nih?” Ucap pembawa acara tidak percaya. Aku melihat lampu di tiang hidup di angka dua puluh. Aku mengangguk. “Kalau Mama kamu sudah meninggal, jadi ini siapa? Silakan masuk.” Ucap pembawa acara sambil menunjuk pintu tempat aku masuk tadi. Musik kembali berbunyi, ada seseorang yang masuk. Ibu-ibu dengan riasan tebal, riasan seperti istri-istri pejabat. Membersihkan riasan itu mungkin akan membutuhkan waktu tiga puluh menit lebih.

“Kamu tega banget bilang Mama sudah meninggal Subi!” Ucap ibu itu tiba-tiba. Penonton kembali meneriakiku. Lampu menyala di nomor dua lima. “Lah, memang ibu siapa? Tiba-tiba gini?”

“Jadi, ini bukan Mama kamu nih?” Tanya pembawa acara. “Ya bukan, Mama aku udah meninggal.”

“Subi, kamu tega banget gak ngakuin Mama kamu sendiri, setelah kamu gak ngubungi aku sebulan, kamu malah gak ngakuin Mama kamu sendiri.” Siti membentakku.

“Lah, ini mbaknya malah marah, memang Mama aku sudah meninggal kok.” Ucapku membela diri. “Subi, mending kamu jujur aja.” Pembawa acara memegang pundakku sambil matanya melirik ke arah deretan kru di depan kami, aku melihat ke sana.

Aku melihat ke arah kru TV, seorang kru TV menunjuk ke arah sebuah tulisan di papan tulis putih kecil, “Jujur, Subi mengaku kalau itu ibunya.”

Apa ini? Aku disuruh berbohong? Penonton kembali kebingungan dan saling menatap satu sama lain. Ada beberapa yang bertanya-tanya “Kenapa ini, kenapa?” Ada juga yang terlihat sedang mencibir. Seperti sebelumnya. Apa yang harus aku lakukan? Kru juga kembali menatapku dengan tatapan tidak suka. “Oke, aku jujur, dia ini Mamaku.” Ucapku setelah tidak tahu harus apa.

Penonton kembali bersorak ke arahku. Lampu di tiang itu menunjuk ke angka tiga puluh lima. Apa yang sudah aku lakukan? Berbohong dan masuk televisi? Bahkan di jalan cerita yang entah mau ditulis bagaimana lagi. Melanjutkannya hanya akan menambah kebohongan. Bukannya guru agama kita selalu bilang kalau bohong itu dosa? Persetan dengan guru agama, dari kecil aku memang tidak pernah ngaji. Jadi, bagaimana? Aku tidak tahu jalan ceritanya akan ke mana.

Bagaimana kalau kita ulang dari awal?

Aku dapat telepon dari teman lama yang tahu dengan masalah keuanganku. Dia bilang dia bisa membantuku, bahkan bisa membuatku masuk tipi. Ah, persetan dengan TV. Mending aku merampok saja.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar Menghargai Perbedaan dari Transformasi Novel ke Film

Jika Finding Nemo ada Sekuel Ketiga, Apa Judulnya?

Padahal Aku Mau Berhenti