Radio dalam Frekuensimu

Radio, beberapa hari belakangan ini dialah yang menemani sepiku. Saat tak ada balasan pesan darimu, balas-membalas obrolan penyiar adalah hiburan bagiku. Saat kau bilang ingin tidur, di saat itulah lagu-lagu mulai menghibur.

Lagu-lagu tentang patah hati, lagu patah hati dari penyanyi berbahasa Inggris. Tak begitu ku mengerti, tapi kutau tentang makna di setiap lirik. Bukan tentang lirikan matamu ke arah lain saat kita berdua, bukan tentang kebaikanmu terhadap semua pria, bukan tentang senyum manismu yang juga kau berikan ke dia di kedai kopi itu, bukan tentang semua pesonamu yang selalu menjadi dambaku. Bukan... ini tentang caraku menghibur diri dari harapan yang sebenarnya entah untuk siapa kau beri.

Cara mendambaku yang terlalu bising... mungkin karena dirimu yang tak bisa berpaling.

Semua panggilan di radio yang kudengar, salam untuk teman, keluarga, pasangan, diterima dengan baik oleh penyiar. Padahal kita tidak tau apakah orang yang dituju juga mendengar frekuensi yang sama.
Sama seperti semua tindakan yang kau berikan, tidak semuanya dianggap si dia sebagai perasaan.

Layaknya radio dengan sinyal yang terlalu jauh dicapai, kau cuma akan diganti dan diganti menuju frekuensi lain yang lebih dekat. Yang jauh akan tetap menjadi jauh.

Ada yang bilangnya sakit, tapi tetap pergi ke luar. Ada yg bilang berpaling, tapi tetap ingin tinggal....

Jangan tersinggung, kamu cuma radio, sekarang orang-orang punya televisi. Jangan tersinggung dengan ajakan yang tak diacuhkan, ada yang lain yang lebih menyenangkan. Kamu cuma sekadar radio.

Bersikaplah tenang dan biarkan kepedulianmu hilang. Kepekaanmu juga... untuk apa berubah jadi sosok yang peduli? Kau bukan itu. Kau adalah radio yang munafik dengan salam yang sebenarnya tidak pernah tersampaikan.

Jika menurutmu kopi adalah hal terpahit yang kau sukai, lalu kenapa kau masih saja membiarkan patah hati mendatangi? Jika kau anggap dia adalah buah yang sudah saatnya dipetik, sadarkah kalau kau bukan petani yang telah membesarkannya sampai kini?

Dia, dia, dia. Entah siapa yang aku tulis sedari tadi. Tak pernah satu kali pun dia melihat goresan patah hati ini. Akh, percuma terlalu berharap, nanti juga patah hati lagi.
Yang jauh akan tetap menjadi jauh. Tempatmu berlabuh bukanlah dermaga yang kusiapkan dengan peluh.

Kau harus tau aku tak akan bisa berpaling sampai ada satu orang yang menganggapku penting.

Baru satu tahun padahal. Aku mendambamu dengan bising, kau menutup telingamu hingga hening.

Jangan terlalu berharap, itu kata teman wanita yang selalu aku ajak bercerita tentang cinta. Aku disadarkannya, aku pernah satu kali kecewa denganmu dulu, dan tanpa pernah kau tau.

Terimakasih menemaniku dari rasa sepi. Ya... teman.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sepi Saut

Jika Finding Nemo ada Sekuel Ketiga, Apa Judulnya?

MARSINAH BELUM MATI